Taufik Ismail was born in Bukittinggi West Sumatera on June 25, 1935. He was prominent Indonesian writer and made influence in Indonesian literature the post-Sukarno regime. He was one of pioneer Generation of '66. He was complated his education in FKHP University of Indonesia. Before active as a writer, he taught in Institut Pertanian Bogor. In 1964, he assigned Manifesto Kebudayaan and consequence stopped as a teacher by government. He compiled many of poems, the famous are Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya : Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh. Bored with his serious style, in 1970 Taufik created his poems mixed with humor. Taufik has many of regards, such as Cultural Visit Award from Australia government (1977) and South East Asia Write Award from king of Thailand (1994).
Puisi dan sejarah yang berkelindan. Semangat 66 ada di buku ini. Semangat pun sampai ketika 98 merebak sebagai tahun perubahan rejim.
Ingin membacanya lagi. Ingin mengingat seorang kawan yang senang sekali membacakan puisi di bawah ini:
Kita adalah Pemilik Sah Republik ini
Tidak ada pilihan lain Kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran "Duli Tuanku?"
Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus Berjalan terus Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus Berjalan terus.
1966
Jika puisi-puisi di buku ini dibaca ulang, dengan sejumlah informasi yang selama ini luput dari pengetahuan banyak orang, akan kah sama? Benarkah mahasiswa adalah pejuang nurani rakyat? Apakah mereka suci karena tidak ditunggangi kepentingan politik praktis? Mahasiswa yang diagung-agungkan pada 66 itu tak lama oleh kawannya sendiri dikirimi seperangkat alat rias diri karena terlalu banyak bergincu yang tidak penting. Namun ada satu puisi yang membuat saya menganggap apa yang ada di 66 sama dengan yang ada di 98, serta dimanapun. Puisi yang membuat saya tetap ingin setia dipanggung hore-hore daripada panggung tempat manusia berebut mikrofon. Seperti yang saya liat di panggung depan Gedung Sate sewaktu 98 dulu.
Memang Selalu Demikian, Hadi
Setiap perjuangan selalu melahirkan Sejumlah pengkhianat dan para penjilat Jangan kau gusar, Hadi
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita Pada kaum yang bimbang yang menghadapi gelombang Jangan kau kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian Dan para jagoan kesiangan
Memang demikianlah halnya, Hadi.
Memang begitu selalu nampaknya, kah?
OOT:
di buku ini ada photo-photo demonstrasi sekitar jaman 1966. Ada gambar Cosmas Batubara berboncengan dengan Marie Muhamad naik vespa lampu bulet (duh pastinya tahun segitu masih ekor entok tuh). Selain itu, ada photo tentara berformasi barikade menghadapi mahasiswa. Di photo-photo itu tentara Indonesia tampak selain menggunakan senjata dari blok komunis (AK-47, RPK) yang baru diimpor guna keperluan pembebasan Irian Barat juga nampak menggunakan senjata klasik Perang Dunia II. Senapan M1 Garand dan BAR nampak disandang oleh salah satu pasukan dalam photo itu.
M1 Garand yang merupakan senapan klasik infanteri yang masih digunakan oleh tentara AS hingga awal Perang Vietnam. Saya sendiri terakhir melihatnya di TV pada acara HUT ABRI di sekitaran tahun 1990-an. Saat itu ada kolone senapan marinir yang menggunakan M1 Garand dalam parade kekompakan bersenjata. Senapan yang layak disebut sebagai senapan andalan infantri ini beramunisi 1 klip (bukan magasin, atau sarang peluru) yang berisikan delapan buah peluru. Setelah tembakan terakhir dari satu klip itu, maka akan terdengar suara "kling" berbarengang dengan keluarnya klip dari ruang tembak senapan. Bunyi "kling" tanda peluru habis ini menjadi salah satu ciri khas M1 Garand.
M1 Garand menjadi pilihan untuk jarak dan akurasinya, meski bobotnya terbilang berat dibandingkan senjata sejenis pada jamannya, M1A Carabine. Yang terakhir ini di Indonesia digunakan oleh polisi Indonesia pada tahun 1980 - 1990 dengan varian terbarun tentu saja. Namanya di lidah orang Indonesia menjadi karaben. Karaben memiliki jumlah peluru lebih banyak dibandingkan M1 Garand namun daya jangkau dan akurasi tembakannnya masih kalah oleh M1 Garand.
M1 Garand, M1A Carbine, dan M1918 BAR (Browning Automatic Rifle) merupakan cikal bakal senjata standar infanteri Amerika saat ini, M16, M4 carbine, dan M60. Ketika M16 diganti oleh M16 pada Perang Vietnam, salah satu olok-olok yang ada adalah soal berat senjata. M16 seperti senapan mainan dibandingkan M1 Garand. Persoalan belum lagi ditambah, M16 generasi awal sangat rewel dan sering macet. Berbeda M1 Garand yang begitu kokoh dengan badan kayu. Buat saya yang melihatnya, M1 Garand pun ketika kehabisan peluru, tanpa dipasang sangkur dimoncong senapannya, akan tetap menjadi senjata andal. Tinggal kepruk saja dengan popornya yang kayu tulen itu. Ben klenger musuhnya. :D
begitu lah, puisi dan senjata ternyata seru juga disandingkan dalam satu buku. :D
I read this anthology when I was in junior high; and New Order government was gripping our country with iron hands. But these poems, written by Taufik Ismail during the chaotic days in 1966 - and are a good reminiscence of them, made me decide that I have to keep on helping the poor people out there. We don't have the New Order anymore, but the people in need are still out there in their shabby clothes and shanty houses, waiting for a change. Waiting for justice. The language is simple, but deep and touching at the same time.
Buku ini aku beli di Palasari Bandung. Sungguh, aku kagum akan coretan-coretan kata Taufiq Ismail. Ia adalah penyair favorit ku sampai saat ini. Sayang aku belum pernah bertemu dengannya langsung.
Buku ini merupakan kumpulan puisi-puisi Taufiq Ismail. Seperti judulnya, buku ini gabungan dari "Tirani" dan "Benteng". Tak rugi menghabiskan waktu untuk membaca ulang buku ini.
Satu buku lainnya yang ingin aku miliki adalah, MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia).
Taufiq Ismail muncul pada 1966 (ketika Soekarno jatuh), dan juga pada 1998 (ketika Soeharto jatuh). Buku ini menarik karena memperlihatkan semangat zaman pada 1965-1966.
Saya membeli buku ini di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Ia bertujuan bagi mengenali sosok tokoh ini melewati awal kepenyairannya. Perkara pertama dan paling mengesankan saya ialah ruangan Kata Pengantar oleh pengarang. Daripada catatan itulah saya mengetahui latar penghasilan dua kumpulan puisi ini dan senario politik di Indonesia sekitar tahun 1960-an. Rentetan yang membawa kisah duka kepada Indonesia - antara kekuasaan order lama dan suara rakyat melalui gerakan pelajar. Perkara baru yang saya peroleh ialah maklumat kesan cengkaman Lekra dalam mengawal gerakan budaya termasuklah dalam bidang penulis sehingga memenjarakan tokoh terkenal - Buya Hamka. Siapa Pramoedya ketika itu? Terima kasih kepada penulis yang berkongsikan semua ini, yang juga menghasilkan puisi sebagai 'bahasa perjuangan'.
kumpulan puisi ini membuat saya merasakan kembali ke saat itu. saat di mana pergolakan kekuasaan terjadi, pembunuhan, mahasiswa harus menukar pendapat dengan nyawa.
prolog kisah sebelum puisi membuat saya dapat merasakan bagaimana dan siapa saja yang ada disana.
puisi yang bukan sekedar cerita cinta antara dua insan yang banyak ditulis pemuda saat ini, tapi puisi yang menceritakan cinta dan perjuangan.
bagaimana sejarah diceritakan lewat kata yang sederhana penuh makna.
TADI siang ada yang mati, Bu, dan yang mengantar banyak sekali, kata seorang tukang rambutan pada istrinya, seperti dikisahkan satu puisi 31 baris Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng di tahun 1966.
Ada mahasiswa-mahasiswa, ada anak-anak sekolah, pokoknya banyak. Saya tak tahu benar, Bu, kenapa di terik siang begini mereka bersedia berjalan bersama, berpanas-panasan. Tapi yang jelas mereka itulah yang dulu menggelar spanduk, berdiri di depan senapan dan tank, berteriak “Dua ratus, dua ratus!” untuk memprotes tarif angkutan bus PPD yang naik 500 persen jadi 1000 rupiah.
Rasa-rasanya pemerintah memang keterlaluan ya, Bu. Mulai 3 Januari kemarin biaya pos dan telepon naik 10 kali lipat. Harga seliter minyak tanah, dari 150, sekarang 400. Monumen-monumen, hotel, dan stadion megah berdiri, tapi ekonomi rakyat kecil tersuruk-suruk. Kita yang kena. Selama ini kita membisu, tapi sebenarnya sudah taktahan. Kalau kita protes, apa nasib kita tidak seperti 6 jenderal yang dibunuh orang-orang merah tahun lalu? PKI memang sudah dibekukan, tapi belum dibubarkan. Presiden masih ragu-ragu, sehingga semuanya mungkin. Kita lebih baik tidak tahu apa-apa daripada nanti-nanti dituduh komunistofobi ─dan dituduh pengkhianat revolusi, meskipun kita tak tahu sejatinya apa itu revolusi. Kita lebih baik tekun menyimak pidato-pidato pemimpin yang katanya bisa menyembuhkan busung lapar dan menggantikan makan malam. Apakah ini janji-janji yang disebut “surga merah”?
Presiden Soekarno sendiri agaknya tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dalam pidato bulan kemarin Presiden marah-marah pada para mahasiswa itu. Menurut cerita para mahasiswa, Presiden menantang, Bu, pada siapa pun, baik penjual sirup kopyor dingin sampai guru besar, baik penjual gorengan atau tukang tambal ban, bahwa siapa yang sanggup menurunkan harga dalam waktu 3 bulan akan diangkat jadi menteri. Tapi semua diam karena Pak Presiden juga bilang kalau keadaan tambah buruk, dia harus bersedia ditembak mati.
Akhirnya satu nama mengacungkan tangan, menerima tantangan, namanya Hasibuan. Tapi demonstrasi tak berhenti. Malah ada massa tandingan, Barisan Soekarno. Mereka menyebar pamflet, memprovokasi massa mahasiswa sehingga terjadi bentrokan fisik. Beberapa hari yang lalu Presiden membentuk kabinet baru, dengan jumlah menteri 100 orang. Saya, yang hanya bisa jual rambutan ini, tidak tahu apa maksudnya Presiden mengangkat 100 menteri. Saya bukan orang berpendidikan tinggi. Yang saya tahu A.H. Nasution diturunkan dari jabatan Menteri Pertahanan, juga menteri-menteri lain yang anti-PKI.Para mahasiswa mengeluh karena dengan begitu Soekarno telah “terang-terangan melecehkan perasaan rakyat”.
Maka mereka, mahasiswa-mahasiswa yang tak peduli lagi “keperluan-keperluan kecil seharian, studi, kamar-tumpangan, dan percintaan”, kembali turun ke jalan, Bu. Tembok-tembok kampus, dinding-dinding putih kota, semakin penuh coretan perlawanan, mungkin bikinan mahasiswa seni rupa ITB. Mereka mengacuhkan seruan Dr. Subandrio di radio-radio bahwa demonstrasi mahasiswa “tak sesuai dengan akhlak Indonesia”. Satu dua mahasiswa yang kumal itu sering mengucapkan kata “tiran”. Pendidikan mereka di bangku sekolah/ kuliah, pembelajaran moral mana yang benar dan yang salah, telah jadi praktek melawan segala yang menindas rakyat, melawan “menteri goblok”. Deretan-deretan panzer, barikade kawat berduri, bayonet terhunus, bau asap mesiu, dan peluru berdesingan ─saya melihat dari jauh, para mahasiswa tentu takbisa membalas.
Dan tadi siang ada yang mati, Bu, katanya mahasiswa Fakultas Kedokteran. Kawula muda biasa, tapi dari Salemba ke Kebayoran Baru penuh oleh massa. Mungkin kalau awan lewat dia akan mengira yang mati seorang raja atau pangeran. Beratus-ratus orang, beribu-ribu rakyat, berkilo-kilometer panjangnya, untuk sebuah kematian!
Barangkali mereka haus. Oleh karena itu saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, Bu. Biarlah, hanya sepuluh ikat, masih tak sebanding dengan jumlah mereka.
Tapi mereka girang juga, berteriak-teriak dan berebutan seperti anak kecil. Dan menyoraki saya. “Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”. Benar, Bu, mereka menyoraki saya. Ada juga yang turun dari truk, menyalami, kemudian memanggul dan mengarak saya sebentar. Yang hanya melihat tertawa, bersama orang-orang yang tidak kebagian rambutan, tidak mengeluh, tidak terkantuk-kantuk setelah hari-hari penuh kelu.
“Terimakasih, Pak, terimakasih! Bapak setuju kami, bukan?”
Saya hanya mengangguk. Tak bisa bicara. Terlalu banyak hal lewat dan terlewat. Terlalu banyak nyeri dalam perjuangan. Setiap perjuangan selalu mendatangkan jagoan kesiangan atau pahlawan sungguhan yang sulit dinilai dengan hitam-putih. Orang kecil seperti tukang rambutan mana tahu banyak? Setidaknya saya percaya mereka anak-anak baik. Mereka kembali naik truk dan masih meneriakkan terima kasih. “Hidup pak rambutan!”
Saya tersedu: dalam masa-masa panjang “belum pernah seumur hidup orang berterima kasih begitu jujurnya pada orang kecil seperti kita”. Mereka terus jalan beriringan menuju pekuburan di Kebayoran Baru.
Yang paling mnyentuh itu ada kalimat yang kurang lebih bunyinya begini "Saat itu terkenal lah nama Dewi, yang menyelipkan kertas di nasi bungkus bertuliskan 'selamat berjuang kakak-kakak'. "
Saya juga paling suka dengan puisi berjudul Seorang Tukang Rambutan Kepada Istrinya. Puisi ini menceritakan seorang tukang rambutan yang bercerita pada istrinya bahwa tadi ia melemparkan seikat rambutan dagangannya ke truk mahasiswa yang sedang demonstrasi. Disini saya sangat terharu. Bukan cuma mengajarkan tentang iklas, ternyata orang kecil seperti tukang rambutan lah yang justru membuat para demonstran itu bersorak sorai gembira. Sebuah hal kecil yang dilakukan orang kecil. Ditengah panasnya suasana rakyat yang minta perhatian pada penguasa, para pembesar, minta supaya cekikan itu sedikit dilonggarkan.Justru bukan orang-orang besar itu yang membuat simpul senyum di raut wajah mereka. Adalah seorang tukang rambutan. Seorang yang memberi tanpa harus diminta. "HIDUP TUKANG RAMBUTAN"
I read this collection of poems in Pangkalan Brandan when I was still in fifth grade of elementary school. What did I know about good poems at that time? Yet I love Taufiq Ismail's poems so much I read this book more than once. And I am glad I got a chance to have Mr. Taufik Ismal during my graduation ceremony.
Sebuah realita yang dibalut apik melalui diksi dan metafora yang sederhana, lugas, dan menggugah jiwa. Karya yang patut diapresiasi. Melalui puisi tersebut, kita bisa kembali ke masa lalu dan introspeksi mengenai keadaan Indonesia dan pemuda saat ini. Para pemuda dan Indonesia yang tersesat dalam kebebasan tak berbatas dengan tanda tanya besar mengenai hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya.