What do you think?
Rate this book
96 pages, Paperback
First published April 1, 2009
Waktu tidak ubahnya lubang yang dalam di gigi geraham paling dalam. Sementara kenangan adalah makanan kemarin atau hari-hari sebelumnya yang tertanam di sana membuat masalah: sakit gigi, bau mulut, atau bahkan tumor
3
kelak suatu hari sebelum salah satu di antara aku dan kau tersangkut maut, di hari ulang tahun kau, saat tidak ada pekerjaan kantor yang melarang kau cuti, aku akan mengajak kau menjadi tua renta lalu mengajak kau kembali menjadi anak-anak
aku akan mengajak kau menginap semalam di salah satu panti jompo, tempat orang-orang yang punya anak-anak terlalu sibuk, tempat orang-orang merasa dekat sekali dengan makam, tempat orang-orang susah payah mengingat bagaimana caranya tersenyum. di sana aku dan kau akan membaca sajak-sajak cinta kepada mereka. dengan begitu aku dan kau bisa membayangkan bagaimana kelak kalau aku dan kau sudah tua, bagaimana rasanya berjalan-jalan di tepi jurang maut.
besoknya, aku akan membuat sepasang layang-layang. kemudian akan aku ajak kau ke sebuah padang. jika susah menemukan padang, aku dan kau akan memanjat ke atap gedung yang menyerupai tanah lapang, di mana seseorang sering memarkir pesawatnya. di sana aku dan kau akan bermain layang-layang sepuasnya. mungkin aku dan kau sepasang tubuh dewasa yang tak lagi memiliki jiwa kanak-kanak. siapa tahu layang-layang menerbangkan aku dan kau kembali ke masa kanak-kanak, saat senja masih bening, saat pohon-pohon masih hijau, saat cinta belum terlalu rumit buat dipahami.
KORAN atau televisi punya kekuatan mencopot kepala dan dada pembaca atau penonton. Agar tidak merasa kehilangan saat kepala dipenggal, dada kita disesaki bermacam-macam perasaan. Sebaliknya, agar tidak merasa kehilangan saat dada dicopot, kepala kita dipenuhi beraneka ragam pikiran. Media massa akhirnya hanya mampu menciptakan dua kelompok besar pengikut: 1) orang-orang berkepala besar, tapi berdada melompong dan 2) orang-orang berdada lapang, tapi berkepala kosong. Mereka yang masih lengkap kepala dan dadanya adalah kelompok minoritas di negara berpenduduk banyak ini.
Untuk itulah peristiwa-peristiwa tak boleh cuma berumah atau berkubur di halaman media cetak atau di kotak media elektronik. Sebelum atau sesudah nampang di media massa, peristiwa-peristiwa itu harus segera dipindahkan ke tempat yang lebih tenang, ke tempat di mana orang-orang bisa menggunakan dada dan kepala mereka sekaligus. Salah satu tempat yang lebih tenang itu bernama puisi.
Lihatlah bagaimana peristiwa reformasi dirayakan media massa! Tahun 1998 (dan hal-hal sebelumnya) seolah terus berjalan sebagai masalah yang tak pernah lelah. Masalah yang subur menghasilkan masalah-masalah baru. Kecenderungan lain media adalah senang menyoroti segelintir nama dan melupakan lebih banyak nama. Kecenderungan itu seolah sebuah usaha yang sengaja dilakukan untuk memanjang-manjangkan persoalan. Hasilnya: kita terpaksa bergantung pada nama-nama yang lahir dan besar di media. Pemilik nama-nama itu sebagian besar adalah orang mati.
...
SERANGKAIAN sajak dalam Cinta yang Marah ini dituliskan sebagai usaha memikirkan dan merasakan masalah-masalah yang disebutkan di atas—yang berangkat dan diramu dari opini-opini di media massa mengenai reformasi. 21 sajak yang pertama kali terbit pada 2009 ini sengaja membuka banyak pintu agar kepala dan dada pembaca bisa berdialog. Rangkaian sajak di atas bisalah disebut sebagai sajak-sajak percakapan antara kepala dan dada.
Sengaja sajak-sajak dalam buku ini memiliki kepala yang panjang, bahkan mungkin terlalu panjang jika mau hanya dianggap sebagai judul sajak. Bukan hanya untuk menggambarkan bagaimana masalah yang disebutkan di atas memanjang, namun juga menginginkan agar kepala kita kembali bisa panjang.
Sengaja pula sajak-sajak itu dengan halus menuturkan kemarahan aku-tanpa-nama kepada kau-yang-sudah-mati agar bisa menyentuh dada pembaca. Bukankah sudah terlalu banyak kemarahan yang betul-betul marah lahir dari sengkarut masalah bangsa ini? Sajak-sajak dalam buku ini ingin membawa kemarahan kepada pembaca melalui merah-cinta, bukan merah-marah!
Begitulah serangkaian sajak di atas berharap bisa membuka segenap pintunya untuk para pembaca. Begitulah sajak-sajak tersebut menyodorkan rumah lain untuk merayakan reformasi yang terus memanjang itu. Kepalanya panjang, dadanya lapang!