Jump to ratings and reviews
Rate this book

Hafalan Shalat Delisa

Rate this book
Delisa anak perempuan yang bermata hijau, bening dan umurnya baru mencecah lima tahun. Dia hidup dalam keluarganya yang sebegitu, dia cuba menghafal bacaan dalam solat dengan bantuan ibu dan kakaknya.

Namun Tuhan lebih tahu apa yang lebih baik untuk hamba-Nya. Tsunami datang melumatka senyuman pada wajah Delisa. Tsunami mengambil segala-galanya, keluarga juga kaki kecilnya. Yang tersisa, hanya dia dan ayahnya, dan dalam keadaan sebegitu apakah Delisa mampu tetap tersenyum seperti dahulu dan menyudahkan hafalannya?

248 pages, Paperback

First published January 1, 2005

About the author

Tere Liye

67 books12.7k followers
Author from Indonesia.

"Jangan mau jadi kritikus buku, tapi TIDAK pernah menulis buku."

"1000 komentar yang kita buat di dunia maya, tidak akan membuat kita naik pangkat menjadi penulis buku. Mulailah menulis buku, jangan habiskan waktu jadi komentator, mulailah jadi pelaku."

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
5,050 (50%)
4 stars
3,131 (31%)
3 stars
1,473 (14%)
2 stars
310 (3%)
1 star
127 (1%)
Displaying 1 - 30 of 802 reviews
Profile Image for Nicegreen.
30 reviews16 followers
June 26, 2008
Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (si kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.

Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadarinya sholat jama'ah. Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing - Arun yang pulangnya 3 bulan sekali. Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk
sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat jama'ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu.

Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah
membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

26 Desember 2004

Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa. Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang
bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya.
"Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya
satu." Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar, tetap khusuk.

Delisa pelan menyebut "ta'awudz". Sedikit gemetar membaca
"bismillah". Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. "Allahu Akbar".

Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat. Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.

Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti", lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.

Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu. Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!

"Innashalati, wanusuki, wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya,
wa-ma-ma-ti..."

Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya
Allah, Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking?

Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama
kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah...

Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras ... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah "i'tidal..." "Al-la-hu-ak-bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.

Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari "Arasy Allah." Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia
sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.

Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil
menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari
tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.

"Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang...!" Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.

Minggu, 2 Januari 2006

Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John
F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki kanannya diamputasi. Siku
tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.

Aisyah dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan. Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu'alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam.

Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian. Hari-hari diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana.

Delisa kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. "Orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa.

21 Mei 2005

Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah
bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum pergi meninggalkan bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ.
Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai.

Kemilau kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut. Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut di
tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.

UMMI...............

23 reviews2 followers
February 27, 2012
Seorang syekh berkata "Jika kau ingin menjadi orang shaleh, ubahlah sifatmu menuju sifat anak-anak"..."Anak-anak mempunyai 5 sifat , dan jika orang dewasa mempunyai sifat yang sama, mereka akan meraih tingkatan orang saleh"
1. Mereka tak cemas tentang makanan sehari-hari mereka
2. Ketika mereka jatuh sakit, mereka tidak mengeluh siang dan malam hari menyangkut rasa tak enak yang dirasakannya.
3. Apapun makanan yang mereka miliki, mereka akan berbagi.
4. Ketika mereka bertengkar atau berselisih, mereka tidak menaruh dendam dihati mereka, tetapi segera melupakannya.
5. Perlakuan meremehkan membuat mereka takut dan meneteskan air mata. (Al Gazali)

"Hafalan Shalat Delisa" adalah karya Tere-liye kedua yg aku baca (sebelumnya "RTDW). Sebenarnya agak telat banget baru baca novelnya sekarang, malah keduluan nonton film nya... Novel nya jauh lebih indah. Meskipun sudah tau jalan ceritanya, tetep aja ada bagian cerita yang ga bisa ditahan untuk ga nangis. Mau protes ke bang tere-liye kenapa halaman 194 ketika delisa memeluk abi dan berkata "delisa cinta abi karna Allah" ga masuk dalam scene film... padahal sedih banget juga.
Seperti novel sebelumnya yg aku baca, novel tere-liye kali ini lagi2 sarat makna tentang hidup yang terkadang terlupakan. Untaian kalimat perkalimat nya juga sangat indah.(kapan bisa jd penulis seperti bang tere-liye*mupeng.

Ingin jadi orang shaleh, ubahlah sifatmu seperti delisa...
Profile Image for Welma La'anda.
76 reviews19 followers
December 7, 2008
Saya sangat menyayanginya. Saya bersyukur kerana saya dizinkan Allah untuk mengenali dan membacanya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana secara professional untuk menilai kebagusan sebuah novel, tetapi sebagai pembaca saya menilai kebagusan sebuah buku itu daripada aspek pengaruhnya terhadap kejiwaan saya dan novel ini telah berjaya membawa saya berfikir sejenak tentang erti keyakinan dan kehidupan saya. Saya sendiri tidak tahu apa perkataan yang paling sesuai untuk meringkaskan mesej dalam novel ini tetapi ia cukup mengusik jiwa saya untuk terus memahami status kehambaan saya kepada Dia.

Saya mulakan kembara membaca Hafalan Shalat Delisa pada 5 Januari 2007 , hari Jumaat sambil duduk dibawah sepohon pokok sementara menunggu solat Jumaat selesai.

Awal cerita dimulakan dengan suasana subuh di suatu tempat yang dikenali sebagai Lok Nga (pada mulanya saya tidak pasti Lok Nga terletak di daerah mana, akhirnya saya faham ia adalah satu kawasan yang terdapat di Acheh). Penulis membawa saya mengembara ke sebuah rumah yang sudah ‘ribut-ribut pada waktu shubuh. Suara-suara bising kak Aisyah mengejutkan adik Delisa daripada tidur, dan suara-suara kak Fatimah yang menegur Aisyah serta cuba untuk mengejutkan Delisa untuk kali kedua. Perkataan baru bagi saya ialah Meunasah (surau), menyeringai (sampai sekarang tidak tahu apa maknanya, mungkin menjeling), mukena (telekung) dan cut (perkataan ini digunakan di awal nama contohnya Cut Aisyah, Cut Fatimah, adakah maksudnya kakak?).

Untuk kali pertamanya saya terkesima dan tidak pernah terfikir untuk mempraktikkannya dalam mendidik anak iaitu tentang kaedah yang diguna pakai keluarga ini dalam mendidik Delisa menghafal bacaan solatnya. Umi akan menjadi imam dan Aisyah akan ditugaskan membaca bacaan solat nyaring sedikit dari ummi agar boleh didengar Delisa dan Delisa boleh mengikutinya. Kita mungkin sudah biasa dengan kaedah ini di masjid-masjid yang tidak ada mikrofon. Suara imam tidak kedengaran terutama untuk jemaah wanita, jadi ada seorang mubaligh (makmum lelaki ) yang akan menyaringkan suara agar boleh didengar oleh jemaah wanita. Begitulah setiap kali solat berjemaah, sudah menjadi tugas utama Aisyah menjadi mubaligh walaupun Delisa mempunyai 2 orang kakak yang lain iaitu Fatimah dan Zahra. Tetapi Ummi tidak mahu memindahkan tugas itu kepada kakak yang lain kerana mahu mendidik Aisyah agar lebih bertanggungjawab terhadap adiknya.

Saya semakin dibuai untuk terus membaca buku ini kerana penulis cukup bijak menghuraikan suasana keluarga ini yang cukup bahagia mempraktikkan ajaran Islam dalam keluarga mereka. Setiap Ahad selepas Shubuh, sudah menjadi rutin, Ummi akan menyemak bacaan Quran anak-anaknya walaupun mereka semua juga mengaji quran di masjid. Ummi dan Abi (panggilan untuk mak dan ayah) dikurniakan 4 orang anak, Alisa Fatimah 15 tahun( merupakan kakak sulung), disusuli dengan kembar Alisa Aisyah dan Alisa Zahra(13 tahun) dan si bongsu Alisa Delisa (6 tahun). Setiap daripada mereka mempunyai karakter yang berbeza. Fatimah suka membaca buku dan pembicaraanya juga lebih kepada buku-buku yang dibacanya, Aisyah pula terkenal dengan sifat kenakalannya yang suka menyakat dan bergaduh dengan Delisa. Zahra adalah seorang yang pendiam dan Delisa adalah watak utama dalam novel ini, yang comel, yang suka bertanya dan seorang yang sentiasa riang walau apa pun dugaan yang menimpanya. Abi bekerja di pelantar dan akan balik 3 bulan sekali, tetapi Abi akan menelefon setiap Isnin selepas Shubuh. Oleh kerana itu, selepas shubuh setiap Isnin, sudah menjadi rutin Ummi dan 4 orang anaknya akan menunggu panggilan daripada Abi. Ummi pulak adalah seorang suri rumah dan mengambil upah menjahit (membordir).

--Baca penuh di wlaanda.blogspot.com
Profile Image for Tiwik Dw.
150 reviews
December 26, 2011
Ini adalah kisah tentang tsunami…
Ini adalah kisah tentang kanak-kanak…
Ini adalah kisah tentang proses memahami…
Ini adalah kisah tentang keikhlasan…
Ini adalah kisah tentang Delisa…

Bila sebelumnya tidak membaca frequently asked questionnya, pastilah saya akan mengira ini adalah kisah nyata yang terekam oleh Tere Liye dan dikembangkan menjadi sebuah cerita yang hebat.

Kisah yang dimulai dengan keharmonisan dan kelucuan tingkah sebuah keluarga bahagia yang terdiri dari ummi Salamah yang perhatian tetapi juga tegas dan abi Usman yang bekerja di perusahaan kapal asing yang baru pulang 3 bulan sekali dengan keempat putrinya, Fathimah si sulung berusia 16 tahun yang suka membaca dan sering diskusi hebat dengan ayahnya, si kembar berusia 12 tahun Aisyah yang jahil, Zahra yang pendiam tetapi penuh perhitungan dan si bungsu Delisa, berusia 6 tahun, tokoh utama kisah ini dan seorang gadis kecil polos dengan rambut curly, mata kehijauan, cerewet, suka bertanya, suka ngeles,suka warna biru, ceria, cerdas, dan yang suka manyun bin ngambek bila main sepak bola ditempatkan diposisi kipper karena dia ingin berada di posisi striker.

Kisah tentang sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana, episode Delisa dalam menundukkan hafalan shalatnya untuk mendapatkan hadiah kalung emas dengan liontin huruf D untuk Delisa dari ummi, liontin yang sempat menyulut cemburu kakaknya Aisyah. Kalung yang sempat hilang dari memorinya, kalung yang akhirnya mempertemukannya kembali dengan umminya meskipun dalam kondisi yang sangat mengejutkan.

Hari itu Delisa sedang bersiap untuk ujian hafalan shalat oleh bu guru Nur dan didampingi oleh umminya yang menggenggam kalung hadiah keberhasilannya nanti. Sekarang gilirannya…

Allahu Akbar…
Persis ketika Delisa usai ber-takbiratul ihram, 130 km dari Lhok Nga lantai laut retak seketika, bumi menggeliat, mengirimkan pertanda kelam menakutkan.

Ka-bi-ra- wal-ham-du-lil-la-hi- ka-tsi-ro…
Tanah bergetar dahsyat, menjalar merambat menggentarkan seluruh dunia radius ribuan kilometer, air laut seketika tersedot ke dalam rekahan tanah maha luas.

Innashalati, wanusuki, wa-ma-…wa-ma…wa-mah-ya-ya, wa-ma-mati...
Gempa dahsyat tidak terbendung, Banda Aceh luluh lantak, Nias lebur, Lok Nga menyusul. Tepat ketika Delisa mengucap wa-ma-ma-ti, lantai sekolah bergetar hebat, genteng berguguran, papan tulis jatuh berdebam, gelas bunga bu guru Nur pun jatuh yang pecahannya menggores lengan Delisa. Anak-anak dan orangtua berteriak berhamburan, kepanikan melanda.

Delisa bergeming…
Delisa mengulang bacaannya yang terganggu, Ya Allah…Delisa takut…Delisa gentar…tapi Delisa ingin untuk pertama kalinya ia shalat bacaannya sempurna dan khusuk seperti kisah shahabat nabi yang tak bergerak dari shalatnya ketika kalajengking menggigitnya ataupun dipanah berkali-kali oleh musuh…

Delisa bergetar…
La-sya-ri-ka-la-hu-wa-bi..wa-bi..wa-bi-dza-li-ka-u-mir-tu-wa-ana minal mus-li-min…
Bagai dipukul tenaga raksasa, air yang tersedot ke dalam rekahan bumi seketika mendesak keluar menghempas balik menuju pantai. Tingginya tak kurang sepuluh meter, kecepatannya bagai deru pesawat, melibas apa saja.

Al-ham-du-lillahirabbil ‘a-la-min. Ar-rah-man-nir-ra-him. Ma-li-ki-yau-mid-din…
Ih-di-nas-sirotol-mus-ta-qim…
Para nelayan itu berseru panik saat melihat lautan seperti ditinggikan dan ombaknya menelan mereka tanpa daya

Delisa meneruskan ujian hafalan shalatnya, Al fathihah sukses dilafalkan, surat Al-Ma’un mulai dibacanya. Aduh lupa…bu guru Nur akan membantu, tetapi Delisa menggeleng, jangan! jangan dibantu…Delisa bisa ingat kok.., jembatan keledai kak Aisyah membantu mengingatnya…asal dia khusuk…

Gelombang itu sudah menyapu Banda aceh, rumah bagai sabut disapu air, pepohonan bertumbangan, tiang listrik roboh seperti lidi, mobil terangkat seperti mainan.

Sa-mi’-allahu-li-man-ha-mi-dah…
Gelombang menyentuh tembok sekolah

Rab-ba-na-la-kal-ham-du…
Delisa terpelanting, megap-megap oleh air kotor yang terminum olehnya, tubuhnya terbanting, kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih tersisa, seketika tubuhnya terlempar kesana kemari, kakinya remuk menghantam pagar besi sekolah, tangannya terantuk batang kelapa dan patah, mukanya dihajar pelepah daun kelapa, giginya tanggal. Delisa tidak merasakan apa-apa lagi. Pingsan.

Tetapi Delisa tetap Delisa…
Semua kesedihan yang melanda, semua kehilangan yang dirasakan, semua kengerian yang telah dialami, semua dilaluinya dengan optimis dalam bingkai pengharapan. Sampai pada suatu saat dia mendapati Allah tidak lagi adil padanya.
Berita ditemukannya ummi Umam tanpa ummi Salamah telah membakar amarahnya. Mereka bilang, anak yang baik, do’anya selalu terkabul. Delisa sudah menjadi anak yang baik dan selalu berdo’a agar segera dipertemukan dengan umminya, tetapi kenapa justru Teuku Umam yang jahil, nakal, pelit mendapat hadiah dengan dipertemukan dengan umminya. Sungguh tidak adil, mereka semua pembohong. Ustadz Rahman bohong, bu guru Nur bohong, abi bohong, ummi bohong. Kebencian Delisa atas ketidakadilan yang menimpa dirinya telah menjalar ke seluruh tubuhnya, ‘nisan’ kakak-kakaknya diinjak-injak beserta bunga mawar biru terakhir yang dipetik dari halaman rumahnya, meninju-ninju gundukan tanah. Pengkhianatan dari pasukan hatinya. Terluka…

Meskipun buku ini distempel sebagai buku revisi tetapi masih banyak dijumpai kesalahan ketik, kalimat tanpa spasi, pemakaian kata sambung yang kurang tepat dan yang paling menggangguku adalah pemakaian kosa kata sempurna yang menurutku terlalu sering sehingga kesan dramatisirnya menjadi kurang.

NB: Bila anda ingin membacanya dan termasuk orang yang mudah menangis, sediakan tisu disebelah anda dan akan lebih baik bila tidak membacanya di ruang publik 
Profile Image for Norain.
331 reviews25 followers
October 22, 2015
Agak sukar untuk saya mengadili buku ini sebenarnya. Ada faktor emosi sewaktu saya membaca buku ini maka susah untuk mengkelaskan apakah air mata yang berbaldi tumpah adalah kerana isi novel ini semata-mata atau disumbang faktor saya ini anak rantau yang rindukan keluarganya (bak kata Kak Limau Nipis, buku ni tidaklah sesuai dibaca tanpa famili di sisi).

Permulaannya amat baik. Keharmonian keluarga Ummi Salamah dan Abi Usman meresap jauh ke dalam hati, bersama dengan nilai Islam yang disampaikan tanpa dipaksa-paksa. Wataknya hidup dan memikat sekali, terutamany si lincah Delisa yang bijak dan banyak celoteh. Tapi apabila tiba klimaks cerita iaitu tsunami yang melanda Aceh, atau lebih tepat lagi bab-bab liputan dunia tentang bencana itu, segalanya mula terasa hambar. Bagi saya tsunami itu gagal diceritakan dengan lebih berkesan, hanya sekadar menyebut beberapa negara dan reaksi mereka, juga deskripsi Lhok Nga usai tragedi yang kurang realistik - kerap mengulang-ulang perkataan puing, runtuhan dan sampah.

Dan Delisa. Kadang-kala saya rasakan novel ini adalah untuk mengajar kanak-kanak erti ikhlas. Kalau sahaja bahasanya lebih mudah dan kisahnya lebih pendek maka ini cerita untuk kanak-kanak. Saya sukar sekali sejujurnya untuk menerima anak berusia enam tahun 'dihukum' sebegitu berat (tidak bisa mengingat hafalan solatnya) hanya kerana dia menghafal atas sebab mahukan ganjaran seutas rantai. Dia kan masih sangat kecil, sangat anak-anak. Terasa mubalaghah.

Tapi untuk lebih adil atas karya ini, dari perspektif yang lain, mengapa tidak? Maksud saya, suspension of disbelief mudah sahaja diaplikasikan untuk novel-novel keluaran Barat yang melibatkan hantu dan dewa-dewi, mengapa tidak untuk sebuah karya Islami? Kerana kita tidak pernah melihat dengan mata sendiri wajah seorang anak kecil bercahaya tidak bermaksud tidak mustahil berlaku, kan? Di zaman Umar kan ada anak kecil sepuluh tahun menjadi gabenor? Di zaman tabiin atau tabi' tabiin kan ada anak kecil yang menangis melihat unggun api kerana khuatir seperti unggun itu yang dinyalakan mulanya dengan ranting kecil, neraka juga dinyalakan dengan kanak-kanak sebagai bahan bakar awalnya? Maka Delisa tidak mustahil di zaman ini.

Maka ya, setelah difikir dan ditimbal-balik, empat bintang untuk buku ini.
Profile Image for Amer Mukhlis.
Author 4 books12 followers
July 3, 2013
Novel spritual pembangun jiwa. Bila aku habis baca novel ini aku rasa aku antara yang bertuah dalam dunia sedangkan orang lain lagi susah dari aku. Ini bukan kisah biasa, ini kisah kasih dan sayang sesama keluarga yang saling kehilangan semasa dihentam amarah Tsunami!
Profile Image for Nurin Insyirah.
32 reviews1 follower
December 25, 2020
DEFINITELY A 5-STAR BOOK!
This is my first time baca karya Indonesia selain daripada karya-karya HAMKA. Masa mula-mula Nurin jumpa buku ni dekat library sekolah, ingatkan buku ni panduan solat or something hehe.

Permulaan cerita pun dah sangat menarik, tapi Nurin terpaksa stop kejap dekat part Lhok Nga dilanda tsunami tu sebab rasa tak kuat nak sambung baca huhu. Memang ada banyak part dalam buku ni yang sangat sedih sampai boleh buat Nurin nangis huhu nasib baik baca sorang2 dalam bilik, takdela orang lain nampak muka tengah menanngis haha.

Anyway, ni just a short review. Nanti Nurin akan datang balik and edit semual review ni lepas dah review dekat Instagram hahah.

BOOK REVIEW #17
Hafalan Shalat Delisa • Tere Liye @tereliyewriter • @bukurepublika
.
Delisa yang berumur enam tahun dibesarkan dalam keluarga yang sederhana dan patuh kepada perintah Allah SWT. Pada permulaan cerita, watak Delisa digambarkan sebagai anak kecil periang yang sedang belajar hafalan Shalat-nya. Dikelilingi tiga orang kakak yang kuat mengusik dan rakan-rakan di sekolah membuatkan hidup Delisa tidak pernah sunyi. Namun, satu tragedi tsunami yang menimpa Lhok Nga pada suatu hari telah mengubah segala-galanya.😔

Permulaan cerita sangat laju, lancar dan buat Nurin enjoy je baca buku ni tapi bila sampai pada scene tragedi tsunami tu, memang agak payah Nurin nak sambung baca and banyak kali jugakla Nurin stop then sambung baca balik. Bukan apa, tapi start daripada situ, plot dah jadi sangat berat dan Nurin perlukan banyak masa untuk hadam serta hayati setiap babak. Watak Delisa sememangnya satu watak yang sangat mengagumkan sehingga buatkan Nurin banyak kali terpukul dan tersentap dengan sikapnya.

Not to mention that banyak kali jugakla Nurin menangis secara 'tak sengaja'. Sambil² baca tu, rasa macam "ehh kenapa tiba² air mata keluar pulak ni". Haha nasib baik baca sorang², so takdela orang lain nampak Nurin tengah menangis🤣 Penulis memang sangat bijak menggarapkan ayat sehingga pembaca boleh jadi terkesan apabila membacanya.😭😭
.
Ketika tragedi tsunami menimpa bumi Acheh pada tahun 2004, Nurin belum lahir lagi pada waktu itu jadi apabila membaca buku ni, sedikit sebanyak dapat memberi pengalaman dan perasaan seperti Nurin berada pada waktu itu dan melihat segala musibah ini. Buku ini boleh membuatkan pembaca seperti Nurin bermuhasabah diri dan bersyukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang sedang kita lalui ini.😇
.
Cumanya, ada beberapa ketika Nurin rasa terganggu dengan 'footnotes' yang bagi Nurin agak keterlaluan dan tidak ada keperluan pun sebenarnya. Tapi masih tidak mencacatkan keseluruhan pembacaan😇✨
.
Ending memang sangat mengharukan tapi tetap memuaskan hati pembaca.✨❤️ p/s: the cover itself dah bagi spoiler about the ending😉🙃
.
Definitely a 5/5 stars book! ⭐⭐⭐⭐⭐
63 reviews59 followers
April 14, 2008
Delisa bungsu dari 4 bersaudara dibesarkan dalam keluarga hangat dan sangat religi disalah satu kota di Nanggro Aceh Darussalam.. Delisa yang mendamba kalung ”D” untuk Delisa! Untuk hafalan shalatnya. Kalung yang kemudian tidak dimilikinya karena Tsunami menghantan Lhok Ngah saat hafalan shalatnya disetor pada Ibu Guru Nur pada saat itu Ahad, tanggal 26 Desember 2004.yah saat tsunami meluluhlantakkan Aceh dan 80% penghuni Lhok Ngah beserta penghuninya.

Sampai dengan lembar 50pertama, saya masih bisa tertawa dengan tingkah delisa yang lucu, jujur, lugu. Tersentuh membaca kehangatan dalam keluarga yang huidup sederhana dan dibesarkan dengan Cinta oleh ummi-nya. Aahh...saya jadi ingat Toto Chan.!
Tapi seketika saya merinding ketika Delisa menyetorkan hafalan kepada Guru Nur saat dimana bumi Aceh dan sebagian dunia lainya tergoncang dengan Gempa 8,9 SR. Merinding ketika Delisa ingin khusuk dalam shlatnya dan tetap dalam posisi shalat -Delisa Ingat Cerita Ustd Rahman ttg kekhusyukan shalat Nabi- dan sampai dengan posisi akan sujud tubuh mungilnya tidak bisa lagi menahan kuatnya tumpahan air dari pantai. Seketika saya malu dengan rutunitas shalat saya yang tidak bermakna selama ini. Astagfirullah.....

Kemudian lembar selanjutnya.., cerita kesedihan mengalir, keajiban datang. Delisa mampu bertahan selama 6 hari tanpa makan dan minum –Delisa menemukan 5 biji apel tak bertuan dsiamping nya- dan ditemukan oleh tentara AS!.Masya Allah....saya makin cemburu dengan keajaiban yang dialami oleh Delisa...orang-orang baik disekitarnya... saya tak brehenti mengalirkan air mata. Emosi saya sukses diaduk2 Tere Liye –sang pengarang-....sedih....lucu...inspiratif terangkai dengan indah dalam untaian kata sederhana dan bermakna. Saya suka baca footnote dari Tere –Leye yang tak henti mendoakan Delisa dan mengungkapkan kecemburuannya. Saya ikut cemburu ketika anak sebesar Delisa bisa merubah hidup orang lain! Subhanallah...saya belajar ikhlas dari prinsip sederhana Delisa..., belajar mencinta dengan tulus..berbagi dengan cinta...karena hal hal indah tercipta hanya karena cinta (Ubai sang petugas PMI)

*untuk Ayu, makasih pinjaman bukunya.., menyesal saya menlantarkan buku ini hampir setahun yang lalu....*ketaun kalo minjam buku lamaa.he..he..* buku ini sukses saya baca dalam satu hari kok!
Profile Image for Yuu Sasih.
Author 6 books44 followers
April 25, 2012
Akhirnya selesai baca juga setelah lamaaaaaaaaaaaaaa sekali saya tinggalkan. Entah kenapa. Mungkin karena gaya penulisannya yang sulit menyedot perhatian saya. Padahal ini buku pinjaman. Yang katanya bisa membuat saya menangis. Saya merasa jadi seperti peminjam tidak bertanggung jawab, karena menahan buku lama-lama dan karena gagal menangis.

Buku kedua Tere Liye yang saya baca. Kisahnya apik, mengenai keluarga dan agama. Cerita tentang keluarga sederhana yang sepertinya sangat ideal hanya untuk kemudian dihancurkan oleh Tsunami. Yah, sepertinya memang yang ideal itu cenderung tidak bertahan lama. All good things come to an end. Orang baik cepat mati. You name it.

Tidak seperti Sang Penandai yang lebih absurd, Hafalan Shalat Delisa ini lebih membumi dan sederhana. Tokoh-tokohnya juga serasa akrab, satu kelebihan Tere Liye yang sangat saya suka. Lagipula, siapa yang tidak akan gemas pada Delisa?

Hanya saja, tema dan karakterisasi yang apik sepertinya langsung terperosok ke jurang begitu masuk bagian Tsunami. Entah kenapa saya gagal mendapatkan emosi pada bagian itu, terlepas dari emosi hangat yang berhasil saya tangkap di paruh pertama buku. Ada sesuatu yang semacam mengganjal di hati saya, seperti bagaimana setelah peristiwa survival Delisa, semua orang jadi melihatnya seakan penjelmaan malaikat (?) yang gemar bersinar kemana pun ia pergi. Mungkinkah Delisa bisa selamat dari terjangan Tsunami karena waktu itu Edward Cullen sedang berada di sana dan bersimpati pada anak berambut pirang dan bermata hijau lalu menjadikannya vampir vegetarian? Penjelasannya bisa masuk akal, kalau begitu, kenapa Delisa bisa jadi satu-satunya yang bertahan hidup sementara semua orang di sekitarnya tewas dan kenapa setelah selamat Delisa menjadi anak yang terlihat bersinar di mata siapa pun yang melihatnya.

Jauhkan Delisa dari Edward Cullen! Demi Allah, anak itu hanya ingin menghafalkan bacaan shalatnya! Bukan bersinar kemana-mana!

Bukan, serius. Cerita ini akan sangat indah tanpa bagian "bersinar"-nya, karena saya otomatis langsung teringat pada Cullen setiap kali ada kata "bersinar" di dalam cerita, dan itu sangat mengganggu. Pergi dari kepalaku, Cullen! Anak manis-pirang itu bukan sasaran untuk dijadikan "The Next Sparkling Vampire"!
Profile Image for Ummu Auni.
603 reviews
May 20, 2009
Ini buku yang gerak hatiku bersuara untuk membelinya, tanpa mengenali siapa Tere Liye. Terasa kagum aku membacanya, adunan tulisan berjaya menghasilkan getaran di jiwa. Bagiku sebagai rakyat Malaysia, yang kukira bukanlah begitu jauh dengan Acheh, masih tidak dapat menyelami hakikat peristiwa tsunami yang berlaku sekitar Disember 2004.

Penulis berjaya menghidupkan kembali suasana setelah berlakunya tsunami, bagaimana sebuah bandar yang ranap dibangunkan dengan kadar perlahan, tetapi berjaya bangkit semula walaupun ditimpa bencana. Dan tentang cerita keredhaan, ketulusan dan kesabaran seorang gadis cilik, Delisa yang kehilangan hampir keseluruhan keluarganya, yang kehilangan sebelah kakinya dalam pristiwa tsunami tersebut.

Novel ini mengajar aku erti sabar, dan redha, dan hidayah Allah - pendek kata bagaimana untuk menjadi orang lebih sabar, lebih redha dengan ketentuan Allah. Delisa dengan tulus hati, jiwa murni berjaya menyentuh insan di sekelilingnya untuk belajar bersyukur dan tetap dengan ketentuan Tuhan. Dan kesungguhan Delisa untuk menjadi hamba-Nya yang ikhlas, akhirnya membuahkan hasil. Tiada keajaiban/peristiwa yang aneh/pelik, tetapi ketulusan yang dapat mendekatkan hati kita kepada Allah dan kembali kepada jalan yang diredhai.

Tidak sedikit air mataku berlinang membaca kisah ini. Insya Allah, akan ku usaha untuk membeli tulisan Tere Liye yang lain.
10 reviews3 followers
March 3, 2010
Termenung! Itulah yang saya lakukan persis setelah membaca buku ini, sebelum akhirnya saya sadar belum shalat ashar dan saya pun cepat-cepat mengambil wudhu.

Ceritanya sendiri adalah tentang seorang anak bernama Delisa yang mendapat tugas menghafal bacaan shalat. Ibunya berjanji akan memberinya kalung huruf 'D' jika ia berhasil hafal. Delisa pun senang dan ingin cepat-cepat menghafal bacaannya.

Tapi masalah tak berhenti sampai situ. Bencana yang melanda Aceh beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 menggulung-gulung, menyapu bersih Banda Aceh, juga keluarga Delisa. Delisa sendiri masih hidup.

Ayahnya yang ada di luar Aceh, segera ke Aceh saat mengetahui ada tsunami di sana. Setelah berusaha keras, ayahnya pun berhasil menemukan Delisa.

Dan kini, mereka harus hidup berdua saja. Dan yang paling aneh --- Delisa yang sebelumnya sudah hafal bacaan shalatnya, kini ia lupa sama sekali!

Cerita ini sangatlah reccomended. Bahasanya simpel namun cocok dengan aliran ceritanya. Hanya saja, yang agak mengganggu, ada beberapa adegan insert yang terkesan kurang penting.

Tapi tetap saja, buku ini berhasil membuat saya berlinangan air mata, padahal saya bukanlah orang yang mudah terhanyut.
Profile Image for Rahmi.
2 reviews11 followers
February 27, 2009
Cerita yang sangat menyentuh, membuat bulu kuduk berdiri (tapi jangan salah ini bukan cerita hantu, mistis, klenik dsb). Cerita dengan background tragedi tsunami di Aceh tahun 2004 ini melahirkan sebuah kontemplasi tentang makna rutinitas sholat sebagai sebuah wujud penghambaan makhluk pada Rabb-nya. Beberapa point penting yang dapat diambil: Pertama, niat untuk beribadah hanya kepada Allah (sesungguhya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah penguasa semesta alam) karena dengan demikian kita akan dengan mudah mencapai khusyukan dalam sholat. Kedua, mengukur sejahmana kita mengerti makna sholat. Dimulai dari ritual berwudhu, sudahkah kita berwudhu' dengan benar, bacaan sholat sudahkah tahu artinya atau memahami maknanya, atau bahkan selama ini kita sholat hanya membaca bacaan yang kita tidak tahu artinya (Na'udzubillah), begitu juga dengan gerakan sholat apakah sudah sesuai dengan yang di ajarkan Rosul.......(tanya pada diri sendiri). dan yang ketiga, mengingatkanku akan janji Allah SWT tentang rewards dari sebuah keikhlasan.
Profile Image for Ary Nilandari.
Author 52 books142 followers
January 21, 2010
buku ini mengharukan. Tapi setelah membaca Bidadari-Bidadari Surga, aku telah menaikkan shieldku, jadi nggak terlalu membuat mataku bengkak. Lagi-lagi keseharian dan keajaiban dunia anak dipamerkan dengan indah. Aku belajar banyak, Darwis!
Cuma, catatan kakinya menggangguku, aku seolah didului penulis bagaimana harus bereaksi. Akhirnya kuabaikan suara Tere dengan tidak membaca footnotenya. Maaf.
Profile Image for Esti.
90 reviews39 followers
July 16, 2009
Nice book..
Diam2 aku menghapus airmata waktu baca buku ini di atas kereta Taksaka, di sebelah anak ABG yg sibuk dengan gadget-nya :p
Cerita sederhana, dengan catatan kaki yang menghentak emosi..
Profile Image for Sinta Nisfuanna.
981 reviews58 followers
September 7, 2011
hohohoho...sukses bikin termehek-mehek, nangis kenceng pas Delisa ngobrol ma Umam...:((

rencana mw dikasih bintang 5 cuman koq ya gak sreg ma footnotenya...jadinya bintang 4 sajo
Profile Image for Danur Dimara.
4 reviews1 follower
April 5, 2010
Judul Buku : Hafalan Shalat Delisa
Penulis : tere-liye
Penerbit : REPUBLIKA
Halaman isi : 270 halaman 20.5 x 13.5 cm
Jenis : Fiksi Islami
Cetakan X, Agustus 2009

“Novel tentang bacaan shalat anak 6 tahun dengan latar bencana tsunami ini sangat mengharukan. Nilai keikhlasan dengan halus di jalin pengarangnya ke dalam plot cerita dunia kanak-kanak ini. Saya membacanya dengan rasa sentimental, karena selepas tsunami saya pernah bolak-balik ke Lhok Nga itu.”
Taufik Ismail
Penyair

“Buku yang indah ditulis dalam kesadaran ibadah. Buku ini mengajak kita mencintai kehidupan, juga kematian, mencintai anugerah juga musibah dan mencintai indahnya hidayah.”
Habiburrahman El Shirazy
Novelis/penulis Best Seller Ayat-Ayat Cinta

“What a wonderfull book… thought me about what the basic of love…”
Ririen
www.goodreads.com

Begitulah komentar para pembaca buku best seller ini. Buku ini sangat religius –walau di dalamnya jarang sekali akan anda temukan petikan-petikan ayat Al-Quran-, sungguh menyentuh dan dewasa sekali. Bahasa yang digunakan sangat sederhana, fokus konflik yang tidak muluk dan ending yang tidak memaksa.

Bila dijabarkan secara sistematis, buku ini menampilkan opening yang sederhana berupa kehidupan sehari-hari seorang anak berumur 6 tahun bersama ketiga kakak perempuannya –Fatimah, Zahra, dan Aisyah- dan seorang ibu –Ummi- juga seorang ayah –Abi-. Dimulai dengan “Shalat Lebih Baik dari Tidur”, membuat kita kenal dengan keluarga sederhana dan bersahaja ini dengan paparan bahasa yang tegas kadang lucu. Delisa –tokoh utama- digambarkan begitu berbeda dengan anak-anak seumurannya di daerah Lhok Nga –termasuk kakak-kakaknya-, tidak hanya urusan perangai bahkan fisik pun sangat berbeda. Rambut ikal keemasan, bermata hijau dan paras yang sangat menggemaskan. Yang tersaji pada bagian opening ini adalah bagaimana perjuangan sang Delisa untuk menghafal bacaan shalatnya. Sederhana sekali memang namun penulis mampu menyuguhkan narasi-narasi yang tidak biasa.

Berlanjut pada bab-bab pertengahan –sekitar halaman 60an-, yaitu klimaks. Sebuah bencana maha dahsyat terjadi. Sebuah patahan pada lantai bumi. Sebuah gelombang raksasa yang menghantarkan ribuan laksa air laut ke hamparan Aceh utara, Lhok Nga. Menghantam rumah dan gedung-gedung, menumbangkan pepohonan, menyeret kendaraan-kendaraan begitu ringannya, menghanyutkan jiwa-jiwa yang histeris dan menelangsakan mereka yang selamat. Dimulai dengan “26 Desember 2004 Itu!”, penulis mendeskripsikan kejadian yang mungkin saja bisa terjadi saat itu. Sosok Delisa yang tiba-tiba lupa bagaimana bacaan sujudnya yang dilambangkan penulis sebagai pertandaNya yang nyata terhadap bencana yang akan terjadi dalam catatan kaki penulis. Catatan kaki ini pula merupakan nilai lebih dan hal yang sangat berbeda dari buku kebanyakan. Pembaca memanfaatkan catatan kecil tersebut sebagai komentar bahkan gagasan atau pengharapan penulis sendiri terhadap tokoh dan ceritanya. Pada bab ini Delisa akan menyetor hafalannya kepada Ibu Guru Nur, saat gilirannya tiba, saat takbir pertama dimulai, ratusan kilometer jauhnya dari Lhok Nga, lantai laut retak seketika. Begitu cermat dan sabar penulis mendeskripsikan serta menggabungkan setiap gerak dan bacaan shalat Delisa dengan alur kejadian bencana tersebut –tsunami-. Hingga Delisa tak mampu mengingat satupun hafalan shalatnya.
Di sinilah semua permasalahan dan penyelesaiaan dimulai.

Memasuki beberapa bab akhir yang menjadi anti-klimaks membuat novel ini lebih bercerita banyak akan makna hidup dan keikhlasan. Penulis menjadikan sosok Delisa yang masih kecil menjadi sosok yang dewasa sebelum umurnya. Walau itu bukan hal yang tidak mungkin, namun penulis mampu menyuguhkan permasalahan yang sederhana (selain tsunami) dengan pertautan batin sebagai wujud pendewasaan yang dialami Delisa. Pintu-pintu kebaikan itu tertutup bagi orang-orang yang tidak tulus. Begitulah pesan akhir yang dapat pembaca petik dalam permasalahan Delisa mengenai hafalannya yang selama ini telah hilang bersama ribuan laksa air yang menimpa Lhok Nga.

Ending yang disuguhkan tidak memaksa. Delisa yang akhirnya memahami makna keikhlasan pun mampu menghafal bacaan shalatnya dengan begitu lancar. Seakan-akan bacaan itu berbicara kepada Delisa. Delisa pun pertama kalinya melakukan shalat dengan sempurna dan khusuk. Begitulah keinginannya selama ini. Namun, penulis tidak mengakhiri kisah di sini. Di sebuah sungai, usai shalat Ashar berjamaah, usai melakukan aktivitas bersama teman-teman sekelasnya membuat kaligrafi, Delisa menuju sungai untuk membersihkan repihan pasir yang menempel pada lengannya. Ia basuh wajahnya dan mendapati kesejukan yang begitu menyegarkan. Hingga ia menangkap sebuah cahaya yang selama ini ia cari, yaitu kalung yang akan diberikan ibunya sebagai hadiah bila ia dapat menghafal bacaan shalatnya. Bukan tergantung di semak-semak atau batang pohon, namun kalung itu menggantung digenggaman tulang tangan manusia, Umminya yang selama ini Delisa rindukan.

Penulis memang mahir dalam mempermainkan narasi-narasi yang mampu menggetarkan hati, terbukti dalam catatan kaki yang juga disuguhkan penulis dalam beberapa bab sebagai salah satu pesan terhadap pembaca juga terhadap diri penulis sendiri. Penulis mengaku bahwa dia tidak pernah mengunjungi Lhok Nga sebelumnya, oleh karena itu, paparan deskripsi tempat tidak digambarkan secara detail hanya beberapa tempat yang diambil secara general, misal suasana pesisir pantai dan lain-lain yang bisa dideskripsikan secara umum. Sayangnya, mungkin karena penulis ingin berbicara secara tegas tentang Delisa sebagai tokoh utama, penulis tidak memberikan deskripsi tokoh-tokoh lainnya secara detail dan kuat. Hal ini telihat jelas ketika penulis mendeskripsikan Delisa sebagai tokoh utama dibandingkan tokoh-tokoh lainnya. Kontras.

Karya ini memang patut dikatakan sebagai karya best seller, karena pesan yang diberikan adalah sederhana namun begitu kuat dan mampu menginsafkan kita pada makna keikhlasan. Maka, tidak salah bila novel ini disejajarkan dengan Ayat-Ayat Cinta walau genre-nya berbeda.

Samarinda, 22 Maret 2010
11.11 pm

Dinur Dimara
Profile Image for Lyta.
103 reviews3 followers
January 28, 2010
What else can I say?
Soo many reviews, so many applaus to this book. Sudah masuk cetakan ke-10, kalau tidak salah.

Salah saya, tidak baca dari dulu-dulu. Kenapa? Ya, sudah tau sih buku ini bagus, bahkan yang rekomen ke saya adalah temen yang bapak-bapak!
Padahal biasanya bapak-bapak kan jauh banget dari segala fiksi.

Well, ya, ini adalah fiksi sodara-sodara, tapi mengingat betapa maha dahsyatnya kejadian yang melatarbelakangi fiksi ini, kisah ini mungkin saja terjadi. Siapa yang tahu? saksi-saksi kuncinya tidak bisa berbicara lagi.
Satu dari lebih 100.000 korban tsunami Aceh atau berpuluh ribu lagi yang dinyatakan hilang, mungkin saja mengalaminya.

Setiap kali melihatnya di toko buku, kepingin sih beli, tapi saya tidak siap. Buku terakhir yang membuat saya tertangis-tangis semalaman adalah 'Life' - ini juga fiksi, pengarangnya Chinese - saya lupa namanya. Kesedihan yang melingkupi saya, tidak bisa lepas berhari-hari sehingga saya takut untuk membaca buku-buku sedih lainnya.

Apa daya, hari itu sang buku terpampang didepan saya, yang sedang terburu-buru. Harus ada buku, saya sedang cuti dan tidak afdol libur saya tanpa buku. Buku itu seperti mengajukan diri, menandak-nandak minta diambil. Okay,.. okay,.. saya ambil deh.

Dan air mata saya kali ini, worth it.
Ada banyak pelajaran, makanan rohani, yang bisa diambil. Bukan hanya mengaduk-aduk emosi, tapi ada nilai positif dari kisah yang dipaparkan

Adalah Alisa Delisa, bungsu bersaudara berusia 6 tahun yang cantik (berambut pirang, bermata hijau), dengan tingkah yang polos dan menggemaskan. Keingintahuannya menggebu, dengan respon yang terkadang membuat orang dewasa tidak tahu harus menjawab apa - karena salah-salah pertanyaan susulannya bisa lebih sulit lagi dijawab.

'Ustadz, memangnya nggak boleh ya kita baca bacaan shalatnya kebolak-balik?"
Ustadz Rahman yang barusan melototin Teuku Umam yang lagi iseng menjawil jilbab Tiur menoleh. Buru-buru menjawab
'Ergh, nggak boleh, Delisa!"
"Kenapa nggak boleh? Kan, semuanya tetap dibaca..lengkap!" Delisa memasang wajah seolah-olah ikut berpikir serius. Pertanyaan itu sebenarnya juga serius sekali untuk anak seumuran Delisa.
Ustadz Rahman menyeringai. Kan susah kalau dia mesti jelasin shalat itu 'ibadah besar'. Jadi mesti sesuai dengan tuntunan Rasul. Tidak boleh ada yang beda. Beda sedikit bisa jadi bid'ah.
Lah, bid'ah itu apaan? Pasti Delisa bertanya balik. Dan urusan semakin kapiran. Bukan.Bukan Ustadz Rahman tidak mau menjelaskan panjang lebar. Tetapi mengajari anak kecil seperti Delisa, harus ada tekniknya. Atau kalau tidak,akan terjadi mal-praktek mendidik anak-anak. Kekeliruan.
"Eh.. Kalau Delisa pakai kaos kaki kebolak-balik warnanya boleh nggak?"
"Boleh.. boleh-boleh saja. .. Delisa pernah kok!".....
"Eh..Kalau Delisa pakai sepatu dikepala.. terus kerudung dikaki bisa nggak kebolak-balikbegitu?"Ustadz Rahman mencari analog lain. Menyesal dengan contoh sebelumnya yang terlalu sederhana. Jelas-jelas dia sedang menghadapi Delisa.
dst..dst..


Delisa adalah salah satu dari sekian ribu anak korban Tsunami. Dia selamat, karena pertolongan sebilah papan.
Pada hari terjadi tsunami, (duh saya merinding) Delisa dan teman-teman se-kelasnya di kelas 1 SD di Lhok Nga, sedang ujian hafalan shalat. Sampai shubuh di hari itu, dia masih ada yang lupa.
Dia berusaha, bersungguh-sungguh merapalkan hafalannya sehingga tidak merasa lagi apa-apa yang terjadi disekelilingnya. Begitu khusu'nya.
Kapan terakhir kali kita berasa khusu'?
Sepanjang cerita, Delisa berkeras bisa menyelesaikan shalatnya yang lengkap, yang dia hafal sendiri semua bacaannya.
Ada lagi tentang hadiah kalung, lika-liku persaudaraan 4 anak gadis, keseharian yang sederhana, cinta sederhana yang melingkupi mereka.
'Delisa cinta Ummi karena Allah'
Duh, ibu mana yang tidak bahagia dengan pernyataan anak yang seperti ini? Semoga anak-anak saya nanti bisa belajar mencintai kami karena Allah,..amiin..

Separuh terakhir berkisah tentang kehidupan pasca bencana. Bagaimana orang-orang memunguti kehidupan mereka yang terserak. Bagaimana berbagai bangsa berusaha membantu, setelah seminggu pertama yang kering kerontang tanpa bantuan.
Delisa yang harus dewasa mendadak. Belajar menghindari pertanyaan-pertanyaan yang menambah susah hati orang lain. Belajar bergembira dengan hal-hal kecil yang ia temui.

Tere-liye menambahkan banyak foot-note yang tak kalah menyentuh.
Lihat ini, tapi memang lebih 'terasa' kalau sambil baca ceritanya.

'Ya Allah....lihatlah!
Gadis kecil itu sungguh ingin sujud kepadaMu.. sungguh hanya ingin sujud kepadaMu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Tetapi sekarang ia tak bisa melakukannya!
Ya Allah, bukankah banyak sekali orang-orang jahat, orang-orang munafik, orang-orang fasik yang bisa semaunya melakukah hal-hal buruk di dunia ini. Engkau sungguh tak menghalanginya! Tetapi Delisa!
Ya Allah Delisa justeru hendak sujud kepadaMu.. Hendak sujud! Kenapa Engkau membuatnya pingsan sebelum ia sempat melakukannya. Kenapa?
Ya Allah, kenapa. Aku bertanya.. aku butuh penjelasan,..

Seribu Malaikat bertasbih.Seribu malaikat mengungkung langit Lhok Nga. Turun menatapi semua itu. Dan mereka tidak melakukan apa-apa!'


Membaca cerita ini, kita belajar tentang kepahitan hidup, keinginan untuk beribadah lebih dan lebih kepada illahi, kembali ke ketulusan seorang bocah,.. dan banyak lagi deh.

Satu hal, endingnya agak mengganggu. Bahkan setelah menerima begitu banyak pertanyaan yang sama, sang pengarang menyuruh kita membaca lagi epilog dengan teliti, untuk tahu apa yang dia inginkan untuk Delisa.
Kan, nggak enak? Petunjuknya juga kabur. Saya pikir semua orang ingin happy ending, tapi sepertinya Tere-Liye membuat petunjuk dari awal,.. misalnya tubuh Delisa yang bercahaya-cahaya ketika ditemukan, dan malaikat yang kembali ke langit di akhir cerita. Tugas sudah selesai.
Tugas yang mana? Mempertemukan Delisa dengan umminya? Atau kalungnya? Atau membuat Delisa menyelesaikan hafalan shalatnya? Semuanya?

Lalu kemana Delisa setelah itu? Help me please..
Profile Image for Aina Hilmi.
Author 7 books98 followers
March 7, 2009
Pertama kali membacanya, hati sudah terpaut pada keletah Delisa dan kakak-kakaknya :) Sifatnya yang keletah ditambah lagi kesungguhannya menghafal bacaan dalam solat. Delisa mempunyai keluarga yang bahagia. Ibunya seorang suri rumah dan menitikberatkan soal pendidikan agama anak-anaknya. Sementelahan suaminya seorang pelaut (jika saya tidak silap – terlupa apa pekerjaan abi delisa), ibu delisa mengajar sendiri anak-anaknya mengaji al-Quran, mengimami mereka solat berjemaah dan mengurus rumah tangga.

Delisa mempunyai 3 orang kakak iaitu Fatimah, Zahra dan Aisyah. Fatimah anak yang sulung dan bertanggungjawab terhadap adik-adiknya. Dia juga boleh diharap oleh uminya untuk menguruskan rumah. Zahra dan Aisyah pula merupakan pasangan kembar tetapi mempunyai perwatakan yang berbeza. Zahra lebih pendiam tetapi Aisyah lebih kuat mengusik Delisa. Tetapi Aisyah juga yang ditugaskan supaya menjadi “guider” Delisa ketika dalam solat. Aisyah perlu membaca lebih kuat supaya Delisa dapat mengikuti bacaannya ketika solat. Tetapi seringkali juga Aisyah tidak berbuat demikian dan menyebabkan Delisa tidak dapat membaca dengan sempurna.

Setiap kali adik-beradik Delisa berjaya menghafal bacaan dalam solat, mereka akan dihadiahkan dengan seutas kalung yang boleh mereka pilih sendiri. Dengan adanya kalung ini, Delisa juga amat bersemangat menghabiskan hafalan solatnya. Menariknya ketika menghafal bacaan solat, tanpa disedari Aisyah dia mengajar beberapa tip yang diambil oleh Delisa dan memudahkannya mengingat bacaan hafazannya. Contohnya, Delisa sangat keliru ketika menghafal “inna solati wanusuki wamah yaya wa mamati....“ Tetapi ditegur oleh Aisyah “Mana boleh mati dulu, baru yahya..“ Barulah Delisa senang mengingatnya :)

Delisa seorang yang peramah dan cerdas. Dia selalu mendapat hadiah daripada Ustaz Rahman, gurunya di sekolah agama. Dan dengan keikhlasan Delisa juga, cahaya terpancar dari wajahnya. Dengan asbab dirinya, seorang anggota tentera dari Amerika Syarikat memeluk Islam! Apa kaitan tentera ini dengan Delisa?

Sebenarnya, pada hari Delisa menghadapi ujian solat di sekolah, tsunami tiba-tiba melanda! Akan tetapi Delisa tetap khusyuk melaksanakan solatnya kerana hari inilah hari pertama kali dia ingin solat dengan sempurna setelah bacaan dalam solat berjaya dihafalnya. Dia juga ingin khusyuk seperti mana yang diajar oleh Ustaz Rahman dan dia juga ingin memperoleh kalung yang mempunyai huruf D dari uminya. Tidak Delisa ketahui, semua anggota keluarga (kecuali abinya), guru-guru dan rakan-rakannya telah menemui ajal mereka lantaran dilambung gelombang tsunami.

Delisa sendiri terhanyut dan terlantar di satu tempat berhari-hari tanpa makan dan minum, terbaring lemah di bawah panahan terik matahari dan hujan. Malah, Delisa ternampak jenazah kawannya yang tidak jauh daripadanya. Tetapi Delisa tetap cekal dan tabah meskipun dia berasa agak putus asa kadang-kala. 5 hari 5 malam Delisa terlantar. Sehinggalah berjaya ditemui oleh Prebet Smith. Prebet Smith baru sahaja kehilangan anak dan isterinya di California 6 bulan sebelum itu. Peristiwa menakjubkan berlaku bagi diri Prebet Smith kerana dia sebenarnya ingin memasukkan mayat Tiur, rakan Delisa ke dalam beg mayat apabila dia terlihat cahaya dari satu arah dan apabila dilihatnya.. masya Allah cahaya itu datang dari Delisa!

Misi menyelamat Delisa dilakukan serta-merta dan para doktor bersemangat mengubati Delisa. Dan kuasa Allah menentukan Delisa dapat bertemu kembali dengan abinya. Sedih dan terharu apabila saat abinya bertemu dengan Delisa dan keadaan mereka tinggal di khemah sementara yang disediakan pihak berwajib untuk semua mangsa tsunami. Tetapi, dalam keadaan kakinya yang tidak sempurna (betis kanannya dipotong) tetapi Delisa tetap ceria dan peramah. Saya kagum dengan Delisa menghadapi saat-saat tsunami dan kehilangan ibu serta adik-beradiknya.

Banyak lagi kisah yang terjadi selepas itu termasuklah satu peristiwa menyayat hati yang terjadi di akhir novel ini. Apakah benda yang berkilau dilihat oleh Delisa sewaktu membasuh tangan di sungai? Mengapa Delisa meraung melihat “sesuatu” di hadapannya itu?

Cerita ini membuatkan saya menitiskan air mata kerana insaf dan kagum. Betapa tulusnya Delisa sehingga Allah memeliharanya. Juga saya pelajari kesungguhan melakukan sesuatu, ikhlas dengan tidak mengharap balasan, gigih berusaha dan belajar, tabah hadapi kesusahan dan bencana, dan paling penting doa dan tawakal kepada Allah. Tidaklah hanya mengingat Allah ketika kita susah sebaliknya perlu sentiasa mensyukuri apa yang dikurniakan oleh Allah SWT kepada kita. Wallahualam.
Profile Image for Afifah.
Author 60 books219 followers
November 6, 2012
Sudah lama memasukkan buku ini dalam list buku yang harus saya baca. Tetapi baru berkesempatan (atau menyempatkan) membaca 2 hari terakhir ini. Hasilnya, saya banjir air mata.
Saya memiliki kenangan tersendiri tentang tsunami Aceh. Saat itu, saya baru menjadi seorang ibu, dengan satu anak yang berusia sekitar 1,5 bulan (anak pertama saya lahir 17 November 2004). Suami yang saat itu masih ko-as, menjadi relawan medis yang diberangkatkan ke Aceh pada awal-awal peristiwa tsunami. Karena saya dan suami sama-sama pendatang di Solo, tak ada sanak saudara yang tinggal cukup dekat, terpaksa saya pun harus tinggal seorang diri bersama si bayi di rumah kontrakan kami. Saban hari, saya menatap layar MetroTV sembari terus meneteskan air mata. Menatap bangunan-bangunan yang luluh lantak, mayat-mayat yang bertebaran, sembari memeluk bayi saya.
Membuka lembar-lembar buku ini, mengingatkan saya pada peristiwa itu kembali. Bagi saya, HSD telah menjadi jauh lebih penting dari sekadar novel, ia adalah dokumentasi sebuah peristiwa. Seratus tahun yang akan datang, novel ini akan terus dikaji, sebagai sebuah bahan sejarah yang sangat penting. Inilah yang membuat saya, yang juga seorang penulis novel, sesaat terkesima menyadari betapa pentingnya makna sebuah karya tulis.
Jujur, saya tak menemukan keluarbiasaan dalam penulisan novel ini. Jalan cerita cukup sederhana, diksi juga biasa. Kelucuan-kelucuan Delisa, sering membuat saya tertawa sendiri. Jika saja bab ini bisa lebih dieksplor, tentu akan membuat novel ini lebih berenergi. Misalnya, karir 'sepakbola' Delisa, jika diangkat lebih dalam lagi, diikuti kisah-kisah yang lucu, pasti menarik.
Karena tokoh buku ini adalah anak-anak, mau tidak mau, ingatan saya melayang pada beberapa buku anak yang telah saya baca. Di antaranya, yang di Goodreads saya beri rating bintang 5, adalah tulisan mbak Nurhayati Puji Astuti, Aku Sayang Bunda, yang meraih fiksi anak terbaik IBF Award 2012. Mbak Nurhayati begitu piawi menyeret saya ke dalam nuansa berpikir seorang anak, membuat saya terseret dalam logika si anak. Dalam HSD, beberapa kali Tere Liye mencoba menyeret pembaca ke logika Delisa, dan sebenarnya beberapa kali berhasil. Tetapi, karena sudut pandang novel ini beragam, novel ini gagal mewakili logika Delisa sebagai sudut pandang utama. Sangat wajar, karena novel ini memang tidak ditujukan untuk anak-anak, meski tokohnya anak-anak. Sama seperti Laskar Pelangi, tokohnya anak-anak, tetapi pembaca yang dituju bukanlah anak-anak.
Bagaimanapun, bintang empat yang saya sematkan untuk novel ini (ingat, saya agak 'pelit' memberi bintang), menunjukkan bahwa saya suka, kagum dan terinspirasi pada novel ini.
Profile Image for Sevi Chonifah.
2 reviews
April 16, 2013
Perjuangan Seorang Gadis Kecil
judul :Hafalan Solat Delisa
Penulis:Tere Liye
Penerbit:Republika
Halaman :196
Buku ini berisi tentang sebuah perjuangan gadis kecil, ia bernama Delisa. Dia adalah seorang gadis yang cantik dan manis. Ia hidup bersama orang tua da ketiga kakak perempuannya yang mempunyai pengetahuan agama yang baik. Delisa mempunyai tugas dari sekolahannya, dia harus bisa menghafalkan bacaan sholat dengan baik dan benar. Dia berjuang dengan sekuat tenaga untuk menghafalkan bacaan solat itu, karena ibunya telah berjanji jika dia bisa menghafalkan bacaan solat itu dengan baik ibunya akan memberikannya sebuah kalung yang berliontinkan namanya.
Hingga tibalah waktunya Delisa untuk menghadap gurunya untuk hafalan bacaan solat itu.Dan diluar kelas juga ada ibunya yang menungguinya dan mendoakannya. Pada saat Delisa mulai membaca hafalannya,tanpa disadari ombak dilaut bergemuruh. Dan selang beberapa menit kemudian terjadi gempa dan bencana yang begitu dahsyat yaitu tsunami yang menenggelamkan dan menyapu bersih daerah Aceh.namun ketika bencana itu terjadi, Delisa tetap melanjutkan hafalannya dan tidak peduli dengan apa yang akan terjadi padanya. Hingga 2 hari berlalu dia pingsan diantara tumpukan puing-puing kayu, hingga seorang tentara menemukannya dan membawanya ke posko kesehatan setempat dan dia juda dirawat oleh seorang suster yang begitu baik hati. Tapi kedua kakinya harus diamputasi karena sudah tidak bisa berfungsi lagi. Disudut lain ayahnya yang bekerja di luar negeri menerima kabar bahwa daerah tempat tinggalnya terkena tsunami. Dia langsung bergegas pulang dan segera mencari angota keluarganya, dan ternyata istri dan ketiga anaknya sudah meninggal dan tinggal anak bungsunya yang belum ditemukan. Akhirnya dia terus mencari sampai dia melihat tayangan diTV yang memaparkan wajah anaknya (Delisa), dan akhirnya Delisa bisa berkumpul kembali dengan ayahnya meskipun tidak dengan ibu dan kakak-kakaknya.
Buku ini sangat bagus dibaca untk seluruh kalayak, buku ini dibuat berdasarkan kisah nyata dan benar-benar terjadi. Pasti bisa membuat pembacanya sampai menitikkan air mata, didalamnya mengandung sebuah pesan yaitu jangan pantang menyerah meskipun bertubi-tubi bencana menghadang kita. Kekurangannya adalah para masyarakat hanya mengetahui filmnya saja dan tidak mengetahui adanya buku ini, jadi mungkin kurangnya promosi buku ini ke pasar.
Profile Image for Rika Moniarti.
12 reviews5 followers
April 30, 2009
Delisa adalah gadis kecil berusia 6 tahun, bungsu dari empat bersaudara. Mereka tinggal di Lhok Nga, sebuah kota di pesisir pantai Aceh bersama sang Ummi. Adapun Abi mereka, bekerja di tanker perusahaan minyak yang pulang tiga bulan sekali untuk menengok keluarga tercinta.

Bagi Delisa, menghafal bacaan-bacaan shalat memiliki kesulitan tersendiri. Terutama ia sering tertukar menempatkan susunan kata-kata dalam satu ayat, begitu juga ia sering tertukar antara bacaan ruku dan bacaan sujud. Ada sesuatu yang kemudian membuatnya jadi begitu bersemangat untuk melancarkan hafalan shalatnya, sebuah kalung dengan bandul inisial namanya, D untuk Delisa. Ummi berjanji akan memberikan kalung tersebut begitu Delisa lulus melewati ujian bacaan shalat di sekolahnya.

Namun takdir berkata lain, tepat di hari Delisa mengikuti tes bacaan shalatnya, gelombang tsunami datang meluluh-lantakkan semuanya. Peristiwa datangnya tsunami bersamaan dengan setiap ayat yang keluar dari mulut Delisa, digambarkan dengan begitu menggetarkan. Delisa berusaha dengan sekuat tenaga untuk tetap merampungkan hafalannya, berusaha untuk tetap khusuk. Apa mau dikata, bacaan itu tak jadi sempurna, gelombang besar menyeret semuanya, tubuhnya yang kecil, ibu gurunya, umminya, saudara-saudara perempuannya, teman-teman sekolahnya, serta harapan Delisa untuk bisa mendapatkan kalung yang dijanjikan umminya.

Penulis sangat pandai mengaduk-aduk emosi pembaca dengan terus menggulirkan peristiwa-peristiwa yang mengharukan sampai di akhir cerita. Terdamparnya Delisa selama berhari-hari di sebuah bukit dengan kondisi mengenaskan, terpanggang matahari kala siang, menggigil kedinginan saat malam, pertemuan dengan Abinya yang menggetarkan, serta kisah-kisah mengharukan lainnya. Dan cerita ini, bukan sekedar kisah gadis kecil yang giat menghafal bacaan shalat karena diiming-imingi hadiah, tidak hanya sampai di situ tentu saja. Karena, ada banyak pesan moral yang dapat saya ambil dari keseluruhan kisah ini. Pesan tentang makna hidup, kehidupan, keadilan Alloh, bagaimana menjadi ikhlas yang sebenar-benarnya, serta hal-hal lain untuk jadi bahan perenungan.

Kisah yang sedih namun sarat makna.
Ada yang sudah baca buku ini? Di bagian mana teman-teman mulai menangis?
Profile Image for Isnaini Nuri.
94 reviews23 followers
February 11, 2010
"Delisa cinta ummi karena Allah"

Delisa, seorang anak berumur 6 tahun, tinggal bersama ummi Salamah dan kakak-kakaknya, Fatimah; dan si kembar Zahra dan Aisyah di Aceh. Abi nya, Abi Usman, bekerja di perusahaan kapal asing yang baru pulang 3 bulan sekali.

Ummi Salamah biasa menberi hadiah berupa kalung emas pada anak-anaknya yang berhasil menghapal bacaan sholat dengan sempurna. Karena itu Delisa sangat bersemangat menghapal bacaan sholat demi sebuah kalung yang dijanjikan umminya. Pada hari Delisa menyetorkan hapalannya, tsunami menghantam Aceh. Khusyuk,,,yah Delisa ingin pertama kalinya bacaan sholatnya sempurna dan khusyuk seperti sholatnya para sahabat Nabi. Tak peduli meskipun gelombang tsunami sudah meluluh lantakkan Aceh serta merampas nyawa kakak dan umminya.

Delisa tinggal berdua bersama abinya. Berusaha lagi menghapal bacaan sholat. Tapi ada sesuatu yang membuatnya sulit menghapal bacaan-bacaan tersebut. Beberapa peristiwa terjadi pada Delisa selama proses menghapal bacaan-bacaan sholatnya. Pertemuan dengan umminya lewat mimpi, kemarahannya ketika umminya belum ditemukan sementara ummi temannya sudah ditemukan, sampai akhirnya Delisa bisa mendapatkan kalung emasnya (sekaligus umminya) ketika dia hapal dengan sempurna bacaan sholatnya.

Sama seperti novel yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga, Tere Liye menangis ketika membuatnya. Sedikit kutipan dari penulis

ketika menulis buku ini, ketika tiba untuk menuliskan footnote di bawahnya, maka sy harus berenti 'sejenak'... menyeka pipi, menghembuskan ingus kencang2... kl tdk salah, ketika menuliskan footnote yg kalimatnya: Ya Allah, lihatlah delisa 6 tahun, dst... sy harus buru2 menyambar payung... pergi ke tepi danau itu. tersedu, mengumpati diri-sendiri... jam 11malam; hujan deras!


Kisah ini ditujukan untuk ibunya. Meskipun ia berkali-kali menulis 'Delisa cinta ummi karena Allah', tapi sangat berat untuk benar-benar mengucapkan kalimat tersebut pada ibunya sendiri.ada yang mengalami masalah yang sama??)

Jadi ingat meskipun saya cuma sekilas membacanya, yang paling utama dibutuhkan oleh seorang penulis adalah spiritualitas. Dan sepertinya Tere Liye berhasil menampilkan dalam setiap tulisannya
Profile Image for Nurul Atiqah Muhamad.
23 reviews4 followers
January 6, 2017
Review Hafalan Shalat Delisa dari Tere Liye.

Istimewanya setiap buku Tere Liye, wataknya memang hidup dan susah nak kata kita membaca sebenarnya. Lebih kepada menonton/merasai pengalaman watak itu sendiri.

Seperti buku sebelum ini juga, (Hujan, Rembulan Tenggelan di Wajahmu dan Sunset bersama Rosie), penulis tak perlukan muka surat yang banyak pun untuk penamat cerita. Dua muka surat pun cukup (tipu, setengah muka surat sebenarnya) sudah cukup untuk twisted ending.

Mengapa aturan hidup dunia sepertinya tidak adil dan menindas orang yang baik dan lemah? Yang baik ditimpa bencana, kehilangan, kematian dan yang membuat kemungkaran terus berleluasa? Sebab Allah tahu apa yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Baik bagi neraca manusia tak semestinya baik untuk neraca Allah. Melalui kehilangan, manusia belajar. Salah, ayat yang betul. Melalui kehilangan, kesusahan, manusia terbaikMu belajar. Ada manusia ujian kesenangan ataupun ujian kesusahan pun belum mampu menarik manusia kembali pada Allah. Akal sudah diberi dan petunjuk Allah meliputi langit dan bumi. Mungkin buta itu bukan pada matanya tetapi pada hati. Hati ni sangat kurang merenung salah silap diri.

Mungkin sesuatu perkara itu jadi sukar dilakukan (malas, ketandusan idea, tidak bersemangat) kerana hatinya tidak ikhlas dan mengharap-harap imbalan duniawi. Cuba sekali sekala kita berbuat baik dengan sesuatu/seseorang yang takkan mampu berterima kasih atau membalas jasa baik kita. Mungkin boleh melatih hati untuk ikhlas lagi.

Kenapa ya, ada orang yang hidupnya susah, makan sekadar secukupnya, kematian ahli keluarga tetapi jauh lebih gembira dari orang yang (secara mata kasarnya) 'memiliki' segalanya? Beruntung mereka yang selalu merasa cukup walaupun untuk perkara-perkara kecil.

Tapi saya memang suka satu sifat Delisa. Delisa sangat suka berbagi makanan yang dia ada dengan orang sekitarnya...walaupun sedikit. Sehinggakan dia sanggup menahan diri dari makan coklat kesukaannya semata-mata ingin mencari teman untuk makan bersama-sama.

4 bintang.

** tahun 2016 ialah tahun buku Hamka dan Tere Liye. Nak pelbagaikan lagi genre buku lepas ni .
Profile Image for Devi Luxkyta.
2 reviews
April 22, 2013
Judul buku :Hafalan Sholat Delisa
Penulis :Tere Liye
Penerbit :Republika
Tahun terbit:2005
Jumlah hal :248 halaman

Bacaan shalat memang sulit untuk diingat,menggunakan bahasa arab,dan juga harus mengerti dari arti bacaan itu.Yang terkadang membuat anak sulit ataupun malas untuk membaca bahkan mengingatnya.Itu semua memang masalah sulit,tetapi saat telaten membaca bacaan shalat dan dengan bantuan orang tua yang mendampingi di samping anak.Insya Allah masalah itu dapat terselesaikan.
Seperti yang diceritakan dalam buku ini.Buku ini menceritakan seorang anak yang bersemangat dalam belajar hafalan bacaan sholat,anak itu bernama Delisa.Dengan bantuan kakak-kakaknya dan ibunya yang sangat sayang kepadanya, Delisa menghafal bacaan sholatnya.Delisa anak yang ceria dan bersemangat.
Hingga suatu musibah menimpa dirinya dan keluarganya.Tsunami Aceh memudarkan senyum cerianya.Delisa harus merelakan ibu,kakak-kakak,dan kaki mungilnya.Delisa hidup dengan bapaknya yang perhatian kepadanya.Walaupun begitu,Delisa masih tetap dapat tersenyum ceria dan bersemangat seperti dahulu.
Buku ini sangat menyentuh dan begitu mengharukan.Seorang anak yang kehilangan segala-galanya,masih tetap bersemangat menjalani hidupnya dengan tawanya.Dan tetap belajar hafalan bacaan sholat meski ia tidak ditemani lagi oleh ibu dan kakak-kakaknya.
Cerita dalam buku ini sangat mengharukan.Bahasa yang digunakan cukup mudah untuk dimengerti.Memang cover yang digunakan belum menarik untuk menarik minat pembaca,tetapi cerita dalam buku ini sangat bagus dan sangat menyentuh.
Read
April 18, 2013
by :tere liye
diterbitkan oleh:gramedia


kelebihan
buku inimenceritakan tentang semangat seorang anak yang kira2 duduk disekolah dasar untuk menghafallkan sholat.anak itu bernama delisa.waktu badai tssunami datang,delisapun tetap fokus praktek menghafalkan sholatnya.karena gurunya bilang kalau delisa tidak usah menghiraukan yang disekelilingnya.sampai suatu saat semua orang yang ada dipesisir pantaipunhanyut terbawa ombak tsunami.namun ajaibnya,delisa tetap terjaga dalaam hafalannya.sayang,ketika ia sadar,kakinya yang satu sudah tiada.dan dia pun ditinggal mati oleh ibu dan ketiga kakaknya beserta teman-temannya.hanya delisa dan ayahnya yang selamat dari kecelakaan besar itu.karena ayahnya sedang ditugaskan bekerja diluar daerah delisa itu.setelah ayahnya kembali,ia mencari delisa posko-posko.namun delisa tidak ditemukan.tapi ayahnya tetap seamangat mencari anak tercintanya walau hampir putus asa.dan akhirnya ayahnya menemukan.ia berusaha menghibur delisa agar tetap bersemangat.dan delisapun tetap tidak patah semangatnya untuk menghafalkan sholatnya walau kakinya hanya satu.
kesan:sungguh semangat dan kegigihan delisa untuk menghafal sholat itu sangat memotivasi sekali.walau hanya dengan 1 kakinya,ia dapat menghafal shollatnya.dan ditambah ketabahan delisa saat ditinggal pulang ibu,3kakaknya,dan teman-temannya kerahmatullah.
kelemahan:saya kira saya belum menemukan
Profile Image for Stefanie Sugia.
726 reviews172 followers
February 3, 2012
"Pagi itu, Sabtu 25 Desember 2004. Sehari sebelum badai tsunami menghancurkan pesisir Lhok Nga. Sebelum alam kejam sekali merenggut semua kebahagiaan Delisa."

Buku ini berkisah tentang seorang gadis cilik berusia 6 tahun, bernama Delisa. Ia tinggal bahagia bersama Ummi-nya, dan 3 kakaknya: Fatimah, Aisyah dan Zahra. Saat itu, Delisa sedang rajin-rajinnya belajar menghafal bacaan shalat; karena tak lama lagi ia akan menghadapi sebuah ujian dalam membaca shalat tersebut. Seperti yang sudah dilakukan oleh kakak-kakanya dahulu, setiap lulus menghafal bacaan shalat, Ummi mereka akan memberikan hadiah kalung. Delisa teramat senang dan semakin bersemangat karena selalu termotivasi ketika mengingat hadiah kalung tersebut.

Pada hari ujian itu akan dilaksanakan, Delisa mengingat kembali petuah yang diajarkan oleh Ustadz Rahman; bahwa shalat harus khusuk. Meskipun berbagai macam keributan dan keramaian di sekitar, saat sedang melakukan shalat harus tetap fokus, pikirannya satu. Dan Delisa memegang teguh petuah tersebut....

Review lengkapnya bisa dibaca di:
http://thebookielooker.blogspot.com/2...
Profile Image for Iqbal.
42 reviews8 followers
November 5, 2008
Entah bagaimana menuliskannya...buku ini lah yang menandaidai awal saya berani membeli buku. Perlu waktu lama untuk mulai melanjutkan kebiasaan mbaca dengan kegemaran membeli buku. Tiba-tiba saja saat itu dapet rizqi. Pingin beli buku. Tapi g punya bayangan sama sekali buku apa yang mau saya beli.

sampai tiba di toko buku...tertumbuk pada sebuah buku...novel. gak tahu kok langsung tertarik. Ada komentar hebat dari orang-orang hebat di sampul bukunya. langsung di bawa ke kasir.

dan ya Allah....saya tak keliru. ketertarikas sesaat, rasa suka pada pandangan pertama itu g keliru. Buku yang hebat. untuk pertama kalinya sebuah buku membuat saya tergugu. Subuh hari ketika saya membaca kalimat bertenaga itu :"Delisa cinta ummi karena Allah". tak kuat saya untuk melanjutkannya...berhenti sesaat menenangkan perasaan. Persoalan ini akan selalu sensitif.

Terakhir....saya suka sekali endingnya
empat jempol untuk novel hebat ini

jika ada yang bertanya..novel apa yang paling saya suka....maka novel inilah jawabannya. bukan LP, bukan ayat2 cinta, atau yang lain.
Displaying 1 - 30 of 802 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.