What do you think?
Rate this book
352 pages, Paperback
First published June 13, 2016
But people are just... people. Mereka suka berkomentar tanpa melihat kedua sisi.
"Kalau boleh memilih, lebih enak dicintailah daripada mencintai. Because it's easier to fall in love when someone love you. Tapi, kamu kan kadang tidak bisa memilih siapa yang akan kamu cintai dan siapa yang akan mencintai kamu."
Bahwa dalam hidup itu selalu ada pilihan, seperti sebuah potongan program yang harus diberi validasi if-else agar jelas arah tujuannya. Atau try-catch, selalu ada pilihan untuk mengantisipasi terjadinya error yang tidak jelas alias ketidakpastian dalam hidup.
Membaca seperti wadah untuk menumpahkan segala perasaan. Seolah ada orang lain yang mengerti dirinya.
Hubungan itu bukan judi, yang kita bisa coba, siapa tahu beruntung. Hubungan juga bukan merger dua korporasi yang harus saling menguntungkan.
Sesuatu yang dipaksakan tidak akan berbuah hal yang baik. Sesuatu yang instan tidak akan terasa luar biasa.
"Tayang-Tayang kapan potong poninya?" goda Radhi di meja Athaya.
"Kemaren," jawab Athaya singkat dan seadanya.
"Jadi lucu deh kayak boneka."
"Makasih, tapi jangan dimainin kayak boneka, ya," goda Athaya balik.
"AAAWWW!!!" seru Radhi dan Ganesh bersamaan. Radhi langsung bertingkah mengetuk-ngetuk meja, Ganesh langsung sok-sok bersimpuh mengacak-acak karpet kantor.
"Nggak nyangka Pajar duluan. Kirain bakal Ganesh atau Radhi duluan. Mereka kan udah tua!" seru Mas Kino dengan logat sunda pisan-nya sambil menyalami Fajar.
"Wanjir, tua mah Pak Pri sama Pak Heru tuh. Gue masih muda kali. Seumuran Dasha!" timpal Ganesh. Dasha itu anak magang, mungkin umurnya masih 20 atau 21 tahun.
"Apanya, Nes, yang seumuran Dasha? Sisa umurnya?" tanya Radhi.
"Anjeeeng!" balas Ganesh ke Radhi menjitak kepala Radhi.
"Gimana, Jar, ijab kabul? Lancar nggak? Nggak kayak video 'akad nikah apalah-apalah' kan yang sahnya kayak panco?" ujar Ganesh setelah menyalami Fajar. Langsung Ghilman, Ganesh, Aldi, Satrya, Davintara, dan Fajar tertawa bersama teringat video YouTube tersebut.
"Hahahaha anjir! Nggaklah, lancar alhamdulillah," jawab Fajar.
"Udah siap, Jar?" tanya Ghilman nakal.
"Huft... Fajar enak banget bisa ena ena duluan," Radhi menimpali.
"Pelan-pelan aja, Jar, awas salah lobang." Yang ini komentar senior yang berpengalaman, Davintara.
"Wanjir! Wahahaha ini nih saran-saran sesepuh begini!" ujar Aldi ketawa-ketawa mendengar kata-kata Davintara.
"Kenapa suka Batman, Man?"
"Karena... Batman keren, Ta. Musuhnya kebanyakan orang psyco. Kotanya korup. Konsepnya facing your biggest fear dan do justice. Bukankah itu konsep ideal untuk julukan superhero?" Jelas Ghilman.
Kemudian ia menyerahkan buku Harry Potter and The Half Blood of Prince ke Athaya. salah satu buku favorit Athaya. Di sana ada pita berwarna merah yang melingkar di tengah-tengah buku. Athaya duduk di bangku teras rumahnya, membuka bagian yang diikat oleh pita merah. Halaman pertama bab "The Unbreakable Vow -Sumpah Tak Terlanggar." Athaya tahu banget bagian ini. Sumpah yang mengikat, hanya kematian yang memisahkannya.
Di tengah-tengah pencakar langit yang tinggi dan kokoh dengan ketidakpeduliannya akan sekitar, ada secangkir kopi yang hangat dan menenangkan, membuat siapa pun yang meminumnya terjaga. Hal kecil yang sudah menjadi rutinitas dan membosankan tapi tak dapat dilewatkan.
“Bagi aku... separuh bebanmu, Ta. Agar kamu tidak memikulnya sendirian,” — halaman 300.