Saya merekomendasikan buku ini jika kalian adalah penggemar dari Ilana Tan karena buku ini tergolong sebagai barang koleksi.
Untuk saya sendiri, saya Saya merekomendasikan buku ini jika kalian adalah penggemar dari Ilana Tan karena buku ini tergolong sebagai barang koleksi.
Untuk saya sendiri, saya menyesal telah membelinya. Saya tahu bahwa buku ini hanya berisi referensi mengenai Tetralogi Empat Musim, tetapi saya mengharapkan buku ini berisi penuh gambar-gambar menarik yang membuat saya ingin membaca lagi keempat buku tersebut. Memang kertas dan tulisannya cantik untuk dilihat, tetapi tidak sebanding dengan uang yang telah saya keluarkan....more
Sebenarnya saya ingin memberi bintang 2.5 namun saya bulatkan menjadi 3 sesuai rating Goodreads.
Kalau boleh jujur, Orange bukanlah karya favorit saya Sebenarnya saya ingin memberi bintang 2.5 namun saya bulatkan menjadi 3 sesuai rating Goodreads.
Kalau boleh jujur, Orange bukanlah karya favorit saya dari penulis. Saya sudah membaca seluruh karya Windry, kecuali Metropolis karena saya memang kurang tertarik. Lucunya, saya membaca karya Windry mundur mulai dari karya terbarunya sampai karya pertamanya, yaitu Orange ini.
Saya tidak akan membahas dari segi tema, karena menurut saya tema Orange sudah sangatlah mainstream, dan sering diangkat menjadi tema baik oleh film layar lebar sampai kumpulan fanfiction online. Tentang sepasang manusia yang dijodohkan tanpa dasar cinta, hanya sebatas bisnis. Sang lelaki mencintai wanita lain, dan sang wanita dicintai oleh lelaki lain, sampai akhirnya mereka 'mulai' mencintai satu sama lain dan perjodohan itu diakhiri dengan cinta.
Sebenarnya, saya cukup menyukai tokoh-tokoh dalam Orange, terutama Diyan Adnan sang pria tampan dan sukses dan Faye Muid yang lugu dan polos. Saya suka chemistry mereka berdua dari awal hingga pertengahan cerita. Namun, yang membuat saya malas menghabiskan buku ini adalah ending yang sangat mudah ditebak bahkan dari membaca sinopsis di belakang buku. Entah mengapa, Orange mengingatkan saya pada drama Korea berjudul Full House padahal jalan ceritanya cukup berbeda. Sudahlah..
Hal yang cukup menganggu saya adalah banyaknya typo dan sentences with missing words, padahal katanya Orange bukan hanya terbit ulang tetapi telah 'direvisi'. Contohnya: Hal. 13: kata bantu 'dia' di paragraf pertama rancu siapa pemiliknya. Baru di akhir paragraf dituliskan siapa yang dimaksud. Hal 107: "Kau briefing apa saja mereka?" Hal 115: "Lelaki itu bangkit berdiri untuk menyambut kedatangan Faye". Kalimat ini terdengar tidak pas untuk saya, karena konteksnya adalah Diyan sedang mampir ke studio Faye, tunangannya, dan Faye buru-buru menghampiri Diyan begitu tahu lelaki itu datang. Hal 152: "Dia mudah 'tinggi' saat minum wine". Memang dalam bahasa Inggris ada istilah 'high' untuk orang yang mabuk alkohol. Tapi rasanya kurang pas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, rasanya seperti novel terjemahan yang tidak diolah. Hal 190: "Dia rasa, halaman itu dahulu dibuat pemiliknya sekadar untuk berbasa basi saja". Saya mengerti maksud kalimatnya, tapi sekali lagi menurut saya agak janggal. Lebih pas jika dituliskan "Dia rasa, halaman itu dahulu dibuat pemiliknya sekadar untuk menjadi hiasan saja" atau semacamnya. Hal 275: "Puluhan media lokal dan Asia menyambutnya di sana, lalu konferensi pers dimulai"
Selain itu, filosofi tentang buah jeruk, Orange yang dijadikan sebagai judul dari novel ini kurang mengenai saya. Hanya sekali Faye mengatakan filosofi buah jeruk bak kehidupan yang bittersweet, itu pun hanya dalam 1 kalimat. Selebihnya hanya dikatakan bahwa Faye menyukai buah jeruk, dan beberapa kali Faye mengenakan pakaian berwarna jingga.
Terakhir, pekerjaan Faye sebagai fotografer tidak dijelaskan lebih lanjut. Yang saya tangkap hanyalah Faye yang bertugas 'mengedit' foto studio mereka, Faye yang mencuci film di kamar gelap, Faye yang suka memotret Hong Kong, Faye yang membawa kamera ke restoran. Tidak ada penjelasan seperti alasan Faye suka fotografi, kamera jenis apa yang disukainya, apa fotografi baginya, bagaimana perasaannya saat menekan tombol shutter saat memotret Diyan, sehingga rasanya pekerjaan Faye hanya sebagai tempelan saya. Bahkan pekerjaan Diyan sebagai businessman terasa lebih menarik disini. Memang, mainstream seperti cerita kebanyakan mengenai fotografi jika dikatakan bahwa Faye menyukai fotografi karena pictures could capture moments that'll fade away in matter of seconds, tapi menurut saya ada banyak hal yang bisa dijadikan alasan Faye menyukai fotografi.
Saya juga kurang merasakan chemistry antara Diyan dan Rera, seperti tempelan saja. Begitu juga dengan Zaki dan Faye. Saya tidak menyukai adegan cliche dimana Zaki dan Diyan 'memperebutkan' Faye, yang membuat Diyan menyadari bahwa ia mencintai Faye. Ugh really? Juga perihal Zaki yang pergi dari rumah karena tidak ingin menjalankan bisnis keluarga, tidak diekspos lebih jauh padahal hal ini sebenarnya cukup menarik.
Tapi karya Windry Ramadhina setelah Orange terus mengalami kemajuan, baik dalam penulisan, riset, maupun temanya. So she's still one of my faves! ...more
**spoiler alert** Kalau boleh jujur, novel terakhir dari Omen series ini bukanlah favorit saya dari ketujuh novel yang ada.
Alasannya sederhana, saya **spoiler alert** Kalau boleh jujur, novel terakhir dari Omen series ini bukanlah favorit saya dari ketujuh novel yang ada.
Alasannya sederhana, saya kurang menikmati misteri yang disuguhkan kali ini. Saya sudah kehilangan adrenalin dan perasaan mendebar-debar seperti yang saya rasakan saat membaca Johan series. Banyak adegan yang tampak terlalu dipaksakan dan sangat mudah ditebak, bahkan akhir ceritanya.
Saya mulai "jenuh" dengan formula kak Lexie Xu yang "membunuh" seorang tokoh, lalu di akhir cerita ternyata tokoh tersebut masih hidup karena dia blablabla. Memang, jika untuk kali pertama dan kedua ini akan menjadi sebuah "plot twist" yang mengagetkan bagi pembaca. Namun, jika terus digunakan berulang-ulang, rasanya lama kelamaan saya otomatis berpikir not this again please..
Saya rasa satu-satunya hal yang menarik dan fresh di Target Terakhir adalah bagian kembalinya Valeria. Saya tidak menyangka kalau penulis akan menuliskan bagian yang terjadi setelah Johan series berakhir. Pasalnya, kak Lexie Xu sudah berulang kali menekankan bahwa Omen series adalah kejadian sebelum Johan series. Dan saya sudah menduga.. dan menerima bahwa pada akhirnya pasangan favorit saya (Valeria dan Les) akan berpisah, karena tidak setiap cerita akan berakhir bahagia. Saya cukup senang dengan ending ini sejujurnya, thanks kak Lexie for not breaking them up.
Saya tidak akan mengomentari bagian epilog. Seperti yang saya katakan, saya tidak merasa kaget membacanya (seperti yang mungkin diharapkan penulis). Perasaan saya biasa saja, dan saya tidak berdebar-debat membayangkan sekuel selanjutnya. I hope this story ends just here. I quite enjoy the overall Omen series. ...more
**spoiler alert** Saya tidak tahu harus bagaimana mendeskripsikan Montase. Saya sudah membaca hampir semua karya Windry Ramadhina dan yang satu ini be**spoiler alert** Saya tidak tahu harus bagaimana mendeskripsikan Montase. Saya sudah membaca hampir semua karya Windry Ramadhina dan yang satu ini benar-benar exceptional. Montase berputar sekitar dunia perfilman, spesifiknya film dokumenter. Namun, bukan topik ini yang membuat saya begitu menyukai buku ini, tapi cara penulis menceritakan kecintaan seorang Rayyi terhadap film dokumenter, rintangan yang dihadapinya, sampai akhirnya mimpi laki-laki itu tercapai. Tidak lupa akan Haru, seorang gadis Jepang yang membawa dampak besar dalam kehidupan Rayyi. Jujur, di awal cerita saya kurang menyukai tokoh Haru yang ceroboh dan kekanakan, sama sekali bukan sikap yang ditunjukkan seorang gadis berusia kepala dua. Misalnya di halaman 160: "Dia (Haru) meninggalkan gerbang stasiun dengan berlari kecil dan melompat beberapa kali", melompat? Seriously? Hanya karena langit mendung? Tapi seiring berjalannya cerita, mau tidak mau saya kagum pada "gadis dengan senyum perahu naga" dan semangatnya dalam menjalani sisa hidupnya. Haru yang melepas mimpinya untuk melukis hanya dengan kalimat singkat "Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain". Saya suka cara Windry menuliskan tentang kepergian Haru, dengan singkat dan jelas. Tidak dengan adegan di kamar rumah sakit yang penuh dengan dialog cheesy sambil berpegangan tangan.
Secara keseluruhan, Montase bernuansa sendu, namun tidak mendayu-dayu. Selipan dialog antara Rayyi dengan teman-temannya (Google V) selalu meringankan suasana. Alurnya agak lambat, namun tidak membosankan. Sederhana dan gaya penulisannya cukup berbeda dari karya Windry lainnya. Saya serasa membaca tulisan Winna Efendi (penulis Refrain), mungkin karena suasana dan atribut Jepang yang dibawakan Haru? Hahaha
Jika ada hal yang disayangkan dari Montase, buat saya pribadi adalah hubungan ayah-anak Rayyi dengan ayahnya. Saya rasa bagian itu masih bisa digali lebih jauh, misalnya mengapa ayah Rayyi tidak menyukai film dokumenter padahal itu adalah kesukaan istrinya? Apakah ada alasan lain dibandingkan sekedar "film dokumenter tidak memiliki masa depan" ataukah ada hal lain? Saya juga ingin mengetahui penyelesaian dari konflik ayah-anak tersebut. Misalnya pembicaraan empat mata yang membuat ayah Rayyi akhirnya mendukung Rayyi akan mimpinya.
Sejauh ini, saya hanya menemukan sebuah typo. Halaman 248: "Dua kepal nasi Jepang" membuat saya mengerutkan dahi sejenak, oh ternyata kata "kepal" tertukar urutannya dengan "nasi"....more
**spoiler alert** Buku kedua Windry Ramadhina yang saya baca setelah Walking After You. Poin pertama yang membuat saya memberi bintang 4 adalah deskri**spoiler alert** Buku kedua Windry Ramadhina yang saya baca setelah Walking After You. Poin pertama yang membuat saya memberi bintang 4 adalah deskripsi Windry tentang London.. wow! Windry tidak membahas tempat-tempat populer London seperti Big Ben, Sherlock Holmes Museum, Hyde Park, oke kecuali London Eye. Sebaliknya, deskripsi Windry mengenai London justru membuat saya merasa sedang berjalan di gang kecil London yang jauh dari pusat kota dengan toko-toko bernuansa vintage di sekeliling saya.
Saya menikmati perjalanan Gilang, baik sebelum bertemu Ning maupun setelahnya. Karakter-karakter yang diciptakan Windry cukup lovable, seperti Madam Ellis, Ed, Lowesley, bahkan sepenggal kisah pria mirip Guy Fawkes, V cukup menarik. Selain itu, saya suka bagaimana Windry tidak menciptakan karakter yang too-good-to-be-true dengan kisah cinta indah nan romantis dengan happy ending ala Disney. Sebenarnya dari awal saya sudah menduga nasib Gilang akan berakhir malang (pernyataan cintanya tidak akan disambut Ning). Entah mengapa, dalam hampir setiap buku yang saya baca, cinta antara sahabat tidak akan berhasil. Benarkah?
Hal yang cukup menarik untuk saya tentu saja Goldilocks alias Angel. Saya tidak tahu apa yang saya harapkan menjadi identitas Goldilocks, tapi saya jujur mengharapkan sebuah twist yang membuat saya menganga selama beberapa saat. Saya bukan penggemar fantasi, dan Goldilocks tampaknya adalah "malaikat yang turun bersama hujan" yang dipercayai Windry (ada di profil penulis). Tapi saya tidak akan mengkritik hal ini, biarlah itu menjadi kebebasan penulis. Nampak jelas bahwa Windry terobsesi dengan gadis misterius di tengah hujan, sama seperti Walking After You dengan tokoh Ayu dengan payung merah yang selalu datang menikmati soufflé cokelat saat hujan turun. Gadis Pembawa Hujan..
Menurut saya, sebuah buku yang bagus adalah buku yang memiliki ide dasar menarik dengan deskripsi dan cara penulisan yang mengembangkan ide dasar tersebut menjadi semakin menarik. Sejujurnya, saya kurang menyukai ide dasar buku ini, mudah ditebak mulai dari alur sampai akhir cerita. Namun, penulisan penulis serta tambahan-tambahan lain dalam cerita seperti kisah V dengan istrinya, Madam Ellis dengan Lowesley, membuat saya cukup puas dengan cerita ini. Kisah Gilang dan Ning sayangnya bukan fokus saya saat membaca buku ini. ...more
Bangkok: The Journal adalah serial STPC ke 4 yang saya baca setelah Manhattan, Melbourne, Paris, dan London.
Idenya keren dan menarik menurut saya, teBangkok: The Journal adalah serial STPC ke 4 yang saya baca setelah Manhattan, Melbourne, Paris, dan London.
Idenya keren dan menarik menurut saya, terutama karena adanya topik LGBT yang diangkat disini. Cukup berani untuk sebuah novel remaja. Karakter para tokoh juga cukup kuat menurut saya, mulai dari Edvan, Charm, Edvin(a), bahkan Max sebagai tokoh sampingan. Saya suka karakter Max sebagai 'bocah' yang jenaka dan tulus hati. Kutipan kisah masa kecil Edvan yang sederhana saat tersesat di Yogyakarta terasa begitu heart-warming untuk saya. Novel ini terutama mengingatkan setiap kita bahwa our home will always be our main destination, no matter how far we 'traveled' around.
Tapi di balik semua kelebihan yang saya paparkan di atas, kekurangan yang saya temukan nyaris membuat saya memberikan bintang 2 untuk buku ini. 1. Hal yang paling mengganggu saya dalam buku ini adalah font yang digunakan untuk menulis jurnal-jurnal Artika. Memang, jurnal-jurnal itu berasal dari puluhan tahun yang lalu (1980) dan editor menggunakan font 'seperti itu' dengan kertas berwarna buram untuk membuat pembaca lebih 'terbawa suasana vintage' yang diceritakan. Tapi hal ini justru membuat saya malas membaca dan melompati halaman jurnal tersebut, meski saya sejujurnya penasaran dengan isinya. 2. Warisan memang tidak selalu tentang uang, saya setuju. Dan Artika 'membawa' Edvan ke Bangkok untuk mencari ketujuh jurnal miliknya yang ia sembunyikan puluhan tahun yang lalu sebagai warisan untuk Edvan. Sejak awal memang sudah ditegaskan bahwa warisan Artika bukanlah materi, tapi saya cukup penasaran dan berekspektasi tinggi akan bagaimana nantinya warisan itu akan 'mengejutkan' saya. Tapi nyatanya.. Tidak, saya tidak mendapati apa pun yang menarik. 3. Mengenai 'rahasia' Charm (spoiler removed) begitu klise dan sejak awal saya sudah menduga alasannya seperti itu. Tapi saya tetap berharap bahwa nantinya akan ada penyelesaian yang lebih baik dari dugaan saya. Tapi? Sudahlah. 4. Keputusan Edvan untuk mendukung Charm dalam sidang mempertahankan tempat kenangan mereka (maaf saya lupa nama tempatnya) dan langkah yang diambilnya tidak terasa romantis sama sekali untuk saya, malahan sangat kekanakan. Sebagai seorang pria dewasa, terutama seorang arsitek, seharusnya Edvan bisa mengambil keputusan yang lebih baik. 5. Saya mengharapkan penjelasan akan 'tindakan' Max (spoiler removed) terhadap Edvan. Awalnya saya menduga bahwa kasus Max sama dengan Edvin(a) maka dari itu, Charm membenci ladyboy. Bahkan sampai akhir cerita saya tidak menemukan penjelasan logis akan hal tersebut. Mengecewakan sekali.. 6. Ending cerita dimana seharusnya semua masalah, atau setidaknya sebagian besar masalah diselesaikan. Tapi tidak, ceritanya terasa mengawang-awang menuntut penjelasan. Saya tahu ada jenis cerita dimana endingnya memang dibiarkan menggantung agar pembaca bisa 'menebak' sendiri dengan imajinasinya. Namun, untuk cerita ini saya tidak merasa demikian. Saya tidak mengharapkan penyelesaian klise penuh air mata, atau pun 'masalah' Charm menghilang. Saya hanya berharap ada penyelesaian yang memuaskan saya sebagai pembaca sebelum menutup buku ini.
Saya rasa cukup sepanjang ini review saya akan Bangkok: The Journal. Saya tidak mengatakan bahwa saya membenci buku ini dan berharap tidak pernah membacanya, tapi sejujurnya saya cukup kecewa mengingat ekspektasi tinggi saya mencari buku ini kemana-mana dan menghabiskannya sampai pagi. Saya tunggu karya Moemoe Rizal selanjutnya yang lebih baik! ...more
Loading...
